Menjejaki Pangkal Persoalan Tindak Kesewenangan Terhadap Perempuan

Belakangan ini perkara kekerasan, pelecehan dan bahkan pemerkosaan terhadap perempuan kian santer dalam media pemberitaan. Jika ada yang diduga maupun telah disertai bukti berkenaan dengan terjadinya suatu tindak pidana terkait, juga semakin mudah mengeksposnya ke publik melalui para pengguna sosial media yang turut ambil peran untuk mengemukakan, dengan harap segera diusut hingga tuntas oleh aparat yang berwenang, meski karena itu juga kita jadi semakin tahu kecacatan penegakan hukum di Negara kita. Bukan karena itu saja, sebab dari saya sendiri kerap kali berbenturan secara langsung dengan kasus semacam ini. Sekitar 3 (tiga) minggu yang lalu, saya menerima laporan secara pribadi dari seseorang yang mengaku telah mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, perempuan tentunya. Lebih jelasnya, dia anak ke 2 (dua) dari 3 (tiga) bersaudara, saya baru mengenalnya ketika mendengar dari peristiwa yang sebenarnya telah menjadi desas-desus dalam lingkungan tempat tinggalnya, namun menurut perkataan dia sebagai korban bahwa tindakan demikian yang dilakukan oleh para pelaku yang tak lain bagian dari keluarganya sendiri, sudah menjadi semacam tradisi turun-menurun. Bagi dirinya itu tak menjadi suatu persoalan yang memberatkan hingga tak memberitahukannya kepada siapapun, selain diketahui dia dan keluarganya saja, hingga pada suatu ketika dia baru menyadari bahwa dia seorang yang diperlakukan seperti itu. Lantas karena adanya kesadaran itulah, dia memberanikan diri menceritakannya kepada orang di luar keluarganya untuk pertama kali, yakni teman sebayanya, untuk setiap perlakuan pelaku yang ditujukan kepada dirinya, namun tentu saja tidak merubah apa-apa. Bahkan berselang lama setelah itu, sewaktu dia menceritakan apa yang dialaminya kepada saya, dia berdalih bahwa yang dilakukan pelaku terhadapnya suatu hal biasa dan masih sering terjadi, biar saja dia menjadi bahan pelampiasan pelaku utama dengan tindak kekerasan, katanya. Saya sebelumnya menyebutkan adanya para pelaku, sebab selain pelaku utama dengan tindak kekerasan, ada juga beberapa pelaku lainnya melakukan tindak perundungan terhadapnya. Sehingga tak hanya dari segi fisik saja dia menjadi merasakan nyeri, melainkan secara mental dan perasaan pula mendapat imbas merasakan sakitnya. Biar perkara ini menjadi bagian dari pendahuluan saja, atas pendapat yang akan saya sampaikan pada kesempatan ini. Kelanjutannya mungkin akan saja sampaikan pada lain hari, dengan lebih rinci dari awal mula tindak terjadinya hingga penyelesaian, karena sampai hari ini juga masih dalam proses.

Merujuk pada pokok pembahasan, bahwasannya peristiwa seperti demikian beserta kasus-kasus lainnya kerapkali terjadi, akibat masih adanya sikap seksisme dalam masyarakat. Secara pengertian, seksisme adalah kepercayaan mengenai anggapan yang berlangsung melalui stereotip gender di mana satu gender dipandang lebih unggul dibanding gender lainnya. Akibat pandangan seksis, terjadi diskriminasi dalam berbagai ranah kehidupan. Seksisme yang tak lain satu diantara sekian banyak sumber ketidakadilan, terlepas dari hubungannya dengan kebiasaan sebelum dan sesudah berlangsungnya kapitalisme. Lantas, mengapa saya menganalogikannya secara demikian?. Banyak yang tidak menyadari, bahwa seksisme yang mereka duga hanya berkisar pada kesetaraan gender saja, akan tetapi lebih dari itu. Justru perilaku seksisme merupakan suatu pertanda bahwa ada hierarki kekuasaan dalam jenis kelamin. Contohnya saja dalam suatu ungkapan yang merepresentasikan jenis kelamin dan peran sedari kita kecil; "Ibu mencuci baju, sementara ayah berangkat kerja." Sementara perilaku atas ungkapan demikian yang dibiasakan menjamur menjadi budaya dalam hidup masyarakat, sehingga berkemungkinan untuk lebih dan lebih terjadi penyalahgunaan kehendak atas adanya hierarki kekuasaan tersebut. Secara tidak langsung pula ungkapan demikian menimbulkan kesadaran terhadap jenis kelamin yang merasa lebih mempunyai kuasa untuk berlaku apapun terhadap apa yang dirasa di bawah kekuasaannya.

Dalam kasus yang terjadi baru-baru ini, yang dialami oleh Alm. Novia Widyasari Rahayu, keberlangsungan akan ketidakadilan itu pula didorong dengan situasi atas nama pangkat dalam suatu instansi. Dengan ditambah pula adanya perbuatan mengintimidasi oleh kerabat pelaku terhadap korban dan keluarga agar tidak menyuarakan apa yang dialaminya. Agar peristiwa demikian tidak terjadi/terulang lagi terhadap siapapun juga. Secara teoritis, menurut saya jika saja masyarakat bersama berkemauan dan berkesadaran untuk perlahan mengubah hingga pada tahap meniadakan sikap, perilaku dan perbuatan seksisme, maka yang terjadi adalah tiada lagi perbedaan dari segi mana yang lebih layak menguasai dan mana yang boleh dikuasai antara masing-masing jenis kelamin. Dalam perkembangannya, memang tak sedikit masyarakat yang sudah paham akan hal terkait, untuk tidak membiasakan anggapan; bahwa seorang kuat atau lemah ditentukan oleh jenis kelaminnya. Namun tetap saja, apa yang dipahami mereka yang telah berkesadaran harus terus diperjuangkan untuk disebarluaskan agar lebih merata dalam masyarakat, dan sehingga nantinya mencapai tahap signifikan untuk mengubah kebiasaan yang telah membudaya itu.

Adanya pembahasan ini adalah bentuk reaksi dan refleksivitas dari saya yang terlambat, sebagai bagian dari kaum laki-laki. Kepada para korban, terlebih lagi Alm. Novia yang hingga terenggut segala yang ia punya akibat adanya peristiwa semacam ini, saya turut meminta maaf. Berkenaan dengan itu pula, bahwasannya bicara soal perempuan itu bukan soal percintaan saja, bukan pula soal kasih sayang ibunda yang begitu luasnya. Melainkan tentang pembebasan, terhadap mereka yang selama ini masih saja ditimpali kesalahan dan dilanggar hak-haknya, yang cenderung sama sekali tak mengindahkan kenyataan bahwa kita semua sama manusianya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bunga Rampas

Komidi Putar

Siran, Sekali Upaya Penghabisan

Sastra dan Korelasinya Terhadap Situasi Sosial