Bunga Rampas

Jumat petang, aku mendengar kabar bahwa Rosalisa akan kawin dengan seorang yang dijodohkan oleh keluarganya. Lakinya seorang yang aku kenal, kakak kelas ketika kami sama-sama masih menempuh pendidikan sekolah menengah atas. Kabarnya pula ia seorang direktur yang masih menjabat di pabrik semen yang beroperasi di kota D. Kalau soal apa pekerjaannya aku sudah tahu sejak lama, sebab dalam sekali peristiwa kita pernah berjumpa. Dalam proses mediasi yang dilakukan di salah satu lembaga hukum swasta, oleh perkara operasi dari pabrik tersebut yang sudah banyak memberi dampak buruk terhadap masyarakat sekitarnya. Aku sedikit banyak dilibatkan dalam proses penolakan terhadap pabrik semen tersebut, bahkan sejak belum didirikan. Sadin, orang memanggilnya dengan tambahan sapaan “Pak”, jika menyoal struktur jabatan, namun tidak perlu untuk orang biasa sepertiku yang tak memiliki hubungan hierarkis dengannya. Sadin orang yang paling getol membantah bahwa pabrik semen telah membawa dampak buruk, ia selalu berdalih bahwa manfaat yang didapat masyarakat saat ini dan ke depannya bakal lebih banyak, bahwa menurutnya pula dampak tersebut masih terbilang wajar demi pembangunan insfrastruktur yang merata di daerah-daerah. Proses mediasi selalu berlangsung pelik, tak pernah menemukan titik terang meskipun bukan demikian yang kami mau. Kami merasa itu hanya menjadi segelintir prosedur formal yang perlu dilalui, jika menurut mediator bahwa tujuan daripada itu semua adalah mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak, lantas bagaimana mungkin kami tetap memaklumi bahwa keuntungan bagi pihak pro pabrik adalah operasi pengerukan dan produksi tetap berjalan, sementara kami berkemauan agar segala aktivitas mereka berhenti total. Hingga pada akhirnya aku sendiri memutuskan untuk berundur diri dan memilih berpartisipasi dalam aksi protes di lapangan. Nyaris segala aku ikuti, dari lokasi Tambang hingga ke Ibu kota negara, kecuali di depan Istana Merdeka, kebetulan kala itu aku sedang mengalami gejala sakit tipes, jadi dengan terpaksa tidak turut andil. Biasanya aksi protes berlangsung cukup hikmat tanpa diselingi perbuatan anarkis dan merusak, berbaris dan berjejer, beberapa partisipan mengenakan caping bulat bertuliskan “Tolak Pabrik Semen!”. Bahkan, di beberapa aksi seperti di depan Istana Merdeka, para petani berinisiatif melakukan aksi simbolis dengan mengecor kaki. Oleh mereka terkadang aku diminta untuk berorasi, beberapa di antaranya berargumen bahwa aku telah cukup memahami pokok perkara yang melatarbelakangi berlangsungnya serangkaian aksi tersebut. Pemahaman yang memadai seorang orator terkait pokok perkara memang sungguh penting, maka dapat dikatakan orator merupakan posisi yang esensial, dalam suatu aksi kudu ada yang mengisi, sebab suatu aksi tanpa orator sama halnya dengan bahan bakar tanpa percik api.

Terlepas dari itu semua, Sadin yang memiliki modal lebih dariku yang tak memiliki apa-apa, bukan saja mendukung pengrusakan terhadap lingkungan dan penghilangan mata pencaharian masyarakat petani yang didominasi kepemilikan lahan kecil tak seberapa hasilnya, melainkan juga telah merampas hakku untuk bersanding dengan perempuan yang telah lama aku damba.

Kabar tersebut aku peroleh dari seorang kawan yang mengirimkan pesan singkat. Sementara aku duduk di beranda halaman rumah orang tuaku, tidak terlalu heran mendapatinya, aku hanya kecewa. Sekarang ia mungkin menangis atau bahagia aku tak tahu, satu-satunya yang pasti dari itu adalah aku masih mengkasihinya. Sementara iklim dunia seolah berubah drastis, lingkungan rumah orang tuaku diterpa angin seketika dari arah utara. Aku tinggal di sini sementara, selama operasi pembungkaman terhadap para aktivis di kota Y, yang dilaksanakan secara rahasia. Aku merasai diriku aman di sini, di kampung halaman yang dalam sejarah menjadi salah satu pusat pemerintahan penting di bawah kerajaan Pajang hingga direbut kerajaan Mataram menjadi bagian dari wilayah Bang Wetan.

Suara adzan berkumandang, terdengar suara derap langkah dari dalam rumah, seketika ibu telah berdiri menghadapku.

“Ono opo Le?” (Ada apa Nak?)  tanya ibu, mungkin dengan kejeliannya telah melihat wajahku yang muram.

“Mboten nopo-nopo Buk.” (Tak mengapa Buk) Jawabku.

“Awakmu ora sholat neng langgar?” (Kau tak pergi shalat ke surau?)

“Bapakmu sudah pergi dari setengah jam lalu.” Kata ibu seraya meninggalkanku, terlihat seperti pada umumnya perempuan setengah baya penduduk kampungku dengan mengenakan mukena yang disingkap selutut kaki dan sajadah yang tampak sudah tidak jelas motifnya, dengan warna yang memudar disandangnya, ibu berjalan dengan langkah tertatih menuruni tangga yang tak lama tanpa aku sadari telah menghilang dari pandanganku.

Orang-orang yang mengenalku tahu benar bahwa aku tak beribadah menurut rukun agama yang aku anut, yang tertulis jelas di kartu tanda penduduk milikku. Aku orang yang cenderung tidak memusingkan perkara keyakinan, menurutku kalau sudah yakin terhadap keberadaan sang Esa, ya sudah, yakin dan jalani kehidupan saja sebagaimana adanya. Karena perilaku yang tidak menjalani ibadah fardhu, orang selalu mengira aku berpaham marxism atau bahkan komunis. Padahal antara agama dan suatu paham adalah hal yang berbeda, namun tidak berlainan sebab keduanya mampu berjalan beriringan. Jika perlu aku berandai oleh kesempatan hidup menyandang keyakinan sebagai Muslim yang baik, sekaligus berhaluan kiri, aku akan tetap shalat sesuai perintahNya, dengan tetap berprinsip tegas menentang penghisapan oleh modus produksi kapitalistik. Karena sudah sepatutnya kita menyadari bahwa kapitalisme adalah sekumpulan perbuatan dzalim dari ambisi manusia-manusia yang tak memahami hakikat syukur dan rasa cukup, maka pantas untuk ditentang meskipun aku atau sesiapa saja orangnya tidak menggunakan gagasan kiri sebagai upaya ilmiah dan metodis.

Petang telah berganti malam, aku beranjak pergi dari tempatku sebelumnya menerima kabar yang tak menyenangkan, berjalan tak kurang 30 (tiga puluh) meter dari kediaman orang tuaku terdapat warung kopi, setibanya aku di sana beberapa orang menyapa, ya karena kita bertempat tinggal masih dalam satu lingkungan dusun. Sebuah rumah limasan dengan ukuran cukup besar, warung itu berposisi di bagian sebelah kiri teras yang menjorok sedikit ke depan, menjadi satu bagian dari bangunan rumah. Empunya warung kopi adalah kawanku semasa kanak, kita cukup akrab, sementara rumah tersebut adalah warisan dari kedua orang tuanya, ia sebagai anak tunggal diwarisi hak kepemilikan tanah sekaligus bangunan yang berdiri di atasnya. Bangunan yang seutuhnya dari kayu jati kecuali pondasi, terplitur apik dan mengkilat sehingga tak menghilangkan corak alamiah dari kayu jati yang otentik, tak terkecuali bagian warung di mana aku sekarang hendak memesan.

“Kopi Son,” kataku, “pake gula tapi dikit aja.”

“Wih, kau rupanya…” sambutnya, yang agak terkesiap melihatku.

“Sejak bila kau tiba Yat?”

“Baru dua hari yang lalu.”

Di dalam warung terdapat orang-orang yang semulanya menyapaku, sebagian besar dari mereka adalah para lelaki sebaya dengan bapakku atau lebih sedikit di atasnya. Hanya aku pelanggan dengan perawakan muda, meskipun ada Sondong yang sedang sibuk meracik kopi seorang diri, tetap saja dia bukan pelanggan.

Tak lama aku menyadari ada sesuatu yang ganjil, di antara mereka tampak seorang yang cukup asing, baru sekali itu aku melihatnya. Aku melihat gelagatnya dengan jeli, namun serada rikuh untuk memandangnya secara langsung, cukup sesekali memalingkan muka ke arahnya. Jelas dia bukan warga sini, sekalipun orang baru pasti aku sudah tahu, sebab orang tuaku selalu mengabarkan jika ada seorang warga pindahan atau pendatang baru di dusunku ini. Cukup dapat dimaklumi, dusunku ini tidak amat luas, tidak sampai sekian ratus hektar bentangnya, bahkan jarak antar rumah cukup berdempet meskipun kami terbilang di daerah pemukiman yang jauh dari pusat pemerintahan kota. Sesekali aku juga melihat sosok asing itu memperhatikanku, namun dengan tabiat yang sama denganku, tidak melihat dengan sungguh. Seketika hatiku merasakan kegetiran, seolah ada yang zat yang aneh menyebar perlahan menuju titik vital jantungku. Sekonyong-konyong prasangka buruk menyeruak di kepalaku, semacam memberi pertanda agar bersikap waspada. Kemudian, aku menyantroni Sondong yang ketika itu mengaduk kopi pesanan, kebetulan sekarang giliran kopiku tengah dibuatnya.

“Kopiku dibungkus aja Son.” Pintaku

“Lho lho, gimana ini,” Sondong menyahut, “belum juga kita ngobrol-ngobrol.” Ujarnya.

“Lain kali lah, aku baru ingat kalau ada kerjaan” kataku, “lagi pula aku bakal cukup lama di rumah.”

“Oke cuk.” Jawabnya singkat dengan roman muka yang tidak berubah, dari sejak kanak hingga kemudian kami sama-sama dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing, yang paling kuingat sekaligus mencitrakan dirinya adalah wajah yang selalu tampak sumringah nan berseri.

Aku telah di rumah, memikirkan apa yang aku rasakan sebelumnya. Namun jika diingat hal demikian adalah perasaan biasa yang sering aku hadapi di kota Y, yang menjadi bagian dari kekalutan atas konsekuensi suatu keputusan yang aku perbuat. Namun aku belum pernah mengalaminya di kampung halamanku ini, di tanah airku sendiri. Kemudian ponsel berdering, saku sebelah kanan celana pendekku bergetar, segera aku mengangkatnya tanpa menyadari siapa yang meneleponku.

“Halo, Assalamuallaikum…” terdengar suara perempuan, “benar dengan Mas Dayat?”

“Benar, dengan saya sendiri.” Jawabku.

“Ini aku Mas,” sebelumnya ia menyebut nama, “Rosa.” Aku sudah menduga siapa yang di balik panggilan ini, aku hafal betul dengan suaranya.

“Rosa siapa?” Tanyaku dengan belagak dengan kepura-puraan tak mengenal.

“Rosalisa, Mas.”

“Ohhh, Rosalisa.”

“Bagaimana kau tahu nomorku?” Tanyaku kemudian tanpa berbasa-basi, karena memang kita berdua sudah lama tidak berkontak, tidak berkomunikasi sama sekali hampir selama 3 (tiga) tahun, entah apa sebabnya aku juga masih mempertanyakan, seiring pertanyaan lain datang seperti situasi yang aku alami saat ini, menjadi kian tak karuan.

“Marco, ia memberiku nomormu setelah sekian kali aku meminta,” jawabnya, “bukankah marco pula yang memberi tahumu bahwa aku akan dipersunting?.”

“Sialan si Marco.” Batinku.

“Ya Ros, ia sudah memberiku kabar,” seraya memberi jeda “sekian kali Ros? memangnya ada keperluan apa? Sambungku bertanya.

“Ya Mas, sekian kali di antara 5 (lima) atau lebih bahkan”

“Ada urusan apa?”

“Tak banyak,” singkatnya, “aku hanya mau mengabarimu dengan pantas, sekaligus meminta restumu secara sopan.”

“Restu?!” ujarku dengan intonasi sedikit mencela.

“Hihihi,” ia tertawa kecil, “aku tahu kau masih mengkasihiku bukan?” lanjutnya bertanya dan aku tercenung.

Dalam benakku bertanya, bagaimana seseorang yang sudah lama tidak berinteraksi, tak berhubungan sama sekali mampu untuk berterus terang dengan percaya diri terhadap orang lain? Aku berharap mampu menjadi orang semacam itu, agak berlainan memang jika berkaca dengan pengalamanku sebelum-sebelumnya, ketika beberapa kesempatan datang aku tampak tak terlalu mengindahkan, namun sebenarnya yang aku rasakan terdapat sesuatu yang mengganjal di pangkal tenggorokanku ketika hendak mengutarakan sesuatu, semacam tersumbat oleh benda keras, atau memang sudah demikianlah watakku.

Panggilan telah 21 (dua puluh satu) menit berlangsung, aku sedari mulanya menghadap jendela yang terbuka, dan seketika hujan datang tanpa pertanda sebelumnya. Tidak ada obrolan menarik, tanpa pertanyaan basa-basi tentang kabar, jika pun ada, aku bingung bagaimana menjawabnya, di tengah situasi yang tak menentu ini.

“Awal bulan depan aku menikah,” ujarnya, “tak usah datang.” Kemudian panggilan ditutup.

Seiring hujan makin lebat, berkawan angin seiring datangnya tak kalah santer. Dedaunan pohon menggeliat hebat, keadaan sekeliling menjadi sepi, kecuali suara yang diakibatkan oleh keduanya. Jangkrik-jangkrik tak sempat mengerik, beserta hewan-hewan nokturnal lain hanya berdiam di sarang dan berpuasa. Kasihan mereka, memang terkadang dalam hidup terdapat keadaan di mana kita benar-benar tidak diberi kesempatan memilih, satu-satunya pilihan adalah berserah diri. Namun setelah aku fikirkan lebih dalam, berserah juga merupakan pilihan, bagaimana jika hewan-hewan nokturnal itu tetap memaksakan diri mencari makan di keadaan ini, kemungkinan besar di antaranya bakal berakhir mati.

Dalam benakku jelas mempertanyakan mengapa dia memintaku tidak datang di pernikahannya, padahal sekalipun dia tidak meminta aku juga tidak hendak datang. “Bagaimana manusia mampu melakukan suatu perbuatan yang kemudian dapat menyakiti dirinya seorang diri?” pikirku. Aku tahu betul akibatnya, aku mungkin dapat kehilangan kontrol terhadap emosi, mungkin itu yang menjadi pertimbangan dia. Lagi pula ini bukan saatnya memikirkan tentang perasaan, lebih tepat untuk memikirkan apa yang perlu aku lakukan, semacam membuat siasat baru untuk perlindungan diri. Lelaki yang sebelumnya aku lihat di warung kopi, memang belum dapat dipastikan menjadi ancaman, seorang intel atau akan melakukan operasi penjeratan terhadapku. Namun, seperti yang sebelum-sebelumnya di kota Y atau di mana pun, alam bawah sadar memberi pertanda untuk mawas diri dan bersikap waspada. Memang sudah sepatutnya untukku selalu bersikap waspada di mana pun aku berada, tak terkecuali kampung halamanku sendiri.

Kemudian malam berlangsung seperti biasa, aku meminum kopi yang ku bungkus sebelumnya dari warung Sondong, hingga tandas, sekaligus menghisap berbatang kretek dalam lamunan panjang di kursi kayu jati, menghadap jendela yang berlatar tetesan air langit. Aku tertidur tepat pukul 2 (dua) malam, dan hujan reda tak kunjung reda. |

Le tangi le.” (Nak bangun Nak)

Bapak membangunkanku ketika hari menjelang siang. Ketika aku di rumah, bapaklah yang kerap kali membangunkanku, dengan berbagai maksud. Terkadang bapak membangunkanku karena mencari suatu barang yang bapak sendiri tidak mampu menemukannya, hingga meminta bantuanku ketika ibu tidak ada di rumah. Atau sekedar berpamitan ketika hendak pergi bekerja, sesekali pula bapak membangunkanku karena tahu aku semalaman belum makan. Bapak jarang sekali memarahiku sejak dulu, kecuali karenaku menggampangkan diri soal kapan harus makan.

Kae Sondong dolan.” (Itu ada Sondong berkunjung) Tuturnya setelah dalam upaya membangunkanku beberapa kali.

Nggih Pak.” (Iya Pak) Jawabku dalam keadaan setengah sadar.

Tak lama kemudian aku bangkit perlahan, terduduk dengan penglihatan yang belum jelas fokusnya, sedikit kabur. Bapak sudah tidak ada di sana, seperti biasa pula bapak membangunkanku dengan jeda, kalau saat ini aku juga tidak terbangun bapak akan kembali menggugah ku beberapa saat lagi.

Selepas menyempatkan diri mencuci muka dengan air yang terasa sedingin kulkas, aku ke teras dan melihat Sondong berbincang dengan Bapak.

Kui wonge lagi tangi.” (Itu orangnya baru bangun) Kata bapak kepada Sondong setelah melihatku menongol di hadapan mereka, sembari beranjak meninggalkan tempatnya semula.

Di beranda, matahari sekejap lagi mencapai terik, jalanan tak demikian ramai, sekadar lalu-lalang kendaraan biasa. Sekawanan burung kutilang hinggap di dahan pohon nangka di sisi kiri rumah, berkicap dan menari dengan ekor-ekornya yang berwarna cokelat gelap. Beberapa buah nangka berlubang di cucuk paruh mereka, tak lama lagi biasanya buah-buah itu akan jatuh dan membusuk. Pot-pot kembang yang ditata tertib di atas pondasi batu oleh ibuku, beserta yang tumbuh liar di atas tanah dari benih yang mungkin terbawa desir angin dan aliran air hujan. Secara serempak tampak merekah seiring cercah sinar dari langit. Aku duduk di kursi kayu seperti petang sebelumnya, sementara Sondong di lincak bambu dengan rentang jarak yang lumayan dariku.

“Tak ada perubahan kau, selalu bangun siang, gimana enggak ditinggal kawin.” Sondong mengoceh cukup kencang.

“Ssttttttt…. Meneng o cuk, bapakku mireng engko.” (Diamlah, bapakku dengar nanti)

“Sebentar-sebentar.” Dalam jeda aku terlambat meyadari dan tercengang, “bagaimana kau tahu soal itu?” tanyaku.

“Justu bapakmu yang memberitahuku.”

“Bagaimana bapakku bisa tahu?”

Yo mbuh cuk.” (Ya tidak tahu)

Jawabnya demikian membuatku semakin tercengang, bagaimana bapak bisa tahu adanya kabar tersebut, apakah Rosalisa yang mengabarinya?, entahlah. Dulu, sewaktu aku masih mempunyai hubungan dengan Rosalisa, aku sering mengajaknya berkunjung ke rumah ini, bahkan ketika aku tidak berada di sini, ia sering berinisiatif untuk berkunjung sendiri, meski antara tempat tinggalnya merentang jarak yang cukup jauh karena berbeda kota, bahkan berbeda provinsi. Maka tidak mengherankan bila kedua orang tuaku cukup mengenalnya. Dulu sesekali Rosalisa diminta ibuku menemaninya menanam bunga, beberapa macam jenisnya, beberapa pula aku kenali bunga-bunga tersebut masih ada di halaman dan tumbuh dengan baik, ketika melihatnya aku mengingat, semacam kenangan yang mendalam menyeruak di fikiran. Sesekali sudah tentu aku ingin mengetahui kabarnya, sebelum aku mendengar kabar ia hendak kawin dengan direktur itu.

Mungkin aku harus bertanya kepada bapak secara langsung, tapi agaknya segan untuk membicarakan hal ini dengan bapak, lantaran akan terjadi pembahasan lebih panjang kali lebar dari sekedar jawaban yang aku minta. Atau aku bertanya pada ibu saja, aku cukup dekat dengannya, namun dalam hatiku juga merasa segan jika yang menjadi pertanyaan berkaitan dengan perkara ini.

Matahari telah mencapai terik, tak lama setelah Sondong pamit pergi, kedatangannya bermaksud mengajakku memancing ikan sore nanti. Aku menolaknya, tidak-tidak, kurang tepat, aku menganjurkan untuk lusa saja. Pada mulanya ia keberatan dan desaknya terhadapku agar memancing sore nanti saja, namun lambat laun dengan sedikit penjelasan, Sondong memahami keadaanku, situasiku sekarang. Aku sempatkan bertanya sebelum dirinya pergi, tentang siapa lelaki yang aku lihat di warung kopinya tempo hari. Akan tetapi, rupanya Sondong juga tidak mengenal siapa lelaki itu, menurutnya lelaki itu baru sekalinya datang dan dengan mudah berbaur dengan orang-orang. Sejak mulanya aku mengira bahwa lelaki itu bagian dari operasi rahasia pembungkaman aktivis, siapa yang tahu bukan, mungkin dia intel yang bertugas. Memang prasangka bukanlah patokan perkara kebenaran, namun ada baiknya dilakukan orang-orang sebagai sarana untuk mawas diri yang tengah dalam posisi sepertiku sekarang.{

Aku merasa belakangan waktu berjalan singkat, beranjak dari hari ke hari, kini aku seperti biasa ketika berada di rumah ini, duduk di ruang kamar menghadap jendela. Sementara jam menunjuk tepat 30 (tiga puluh) menit sebelum dini hari. Ibuku pernah menyinggung dengan pertanyaan ; “apa pantatmu tidak gringgingen duduk berlama-lama?”, lantaran aku betah di sini berjam-jam, bahkan pernah nyaris sampai setengah hari. Di luar jendela yang terbuka, hanya tampak beberapa pepohonan, terutama pohon mangga. Di bawahnya terdapat tanaman ubi jalar yang merambat cukup lebat menutupi permukaan tanah. Pada momen-momen tertentu aku melihat di antara dedaunan yang menjalar itu bergerak-gerak, tiada angin, tiada hujan. Pikirku mungkin ada binatang melata di baliknya, atau tikus-tikus tanah merayap, atau setan-setan tahayul, entahlah. Aku memungut bungkus rokok di meja, aku lihat isinya sudah tandas, yang tersisa hanya rontokan tembakau.

Mau tidak mau aku harus membeli kretek baru, bukan keharusan sebagaimana interpretasi awam, melainkan keharusan bagi diriku sendiri. Atas segala situasi yang aku hadapi sekarang ini, untuk sedikit melengangkan fikiran, menghisap kretek adalah keniscayaan. Selain karena memang aku sudah kecanduan terhadap produk nikotin ini. Tak terhindarkan, di jalanan kampung yang sepi, oleh kegelapan di sekitar karena sedikit adanya penerangan. Pohon-pohon mahoni tumbuh berjarak tak kurang beberapa meter satu sama lain yang di selingi dengan pohon jati. Di sejumlah dahan pepohonan itu ditumbuhi benalu yang menjuntai tak karuan, mungkin terdapat sarang burung ciblek di sana. Sementara aku tetap berjalan, tanpa penerangan yang memadai, hanya aspal sebagai patokan untukku melangkah. Di pertigaan menuju dusun lain, aku melihat lampu sorot kendaraan bermotor, ia menuju ke arahku, sedikit redup. Dari siluetnya tampaknya seorang lelaki, aku juga menyadari di malam yang telah larut ini tak memungkinkan menduga seseorang tersebut perempuan, berdasarkan kebiasaan orang kampung menyebutnya ora elok untuk perempuan keluar malam, terlebih lagi hanya sendiri.

“Yat Dayat!” sebelum mendekat seseorang tersebut terdengar memanggilku, sudah tentu berarti orang yang aku kenal, begitu pun sebaliknya. Tak berselang lama kendaraan tersebut berhenti tepat di samping kananku, rupanya Pak Salam.

“Ngapain Yat, malam-malam jalan sendiri?”

“Eh iya Pak, mau ke warung beli kretek.” Jawabku.

Ealah… Yat, tak kiro sopo mau teko adoh, mlaku dewean,” (ku kira siapa tadi dari jauh, berjalan sendirian) ujarnya, “tak kiro demit.” (aku kira hantu) di susul dengan tawa ringan.  

“Mau ke warung si Rejo?” sebelum aku benar-benar menanggapi tawanya, “bareng saya saja, kebetulan searah.” Pak Salam menawarkan.

“Boleh pak.” Sambutku, tanpa segan, tanpa sungkan. Mungkin inilah salah satu adab kesantunan dari kampung yang mulai perlahan mengikis dariku, yang mulanya mudah merasa tak mau merepotkan.

Meski jarak tidak teralu jauh dari mulanya aku turut diberi tumpangan, kita sedikit banyak mengobrol di atas motor, terkait perkembangan desa beserta struktur pemerintahannya kini, tentang pertanian. Tak terlalu mengherankan memang, mengingat pak Salam sebagai salah seorang yang cukup diperhitungkan di kampung ini, beliaulah yang menggagas pembentukan kelompok tani. Dipungkasi dengan penceritaan tentang anak perempuannya yang akan segera dipersunting, yang secara tidak langsung kembali mengingatkanku dengan Rosalisa.

Pak Salam, aku tidak tahu tahu tepat berapa usianya, yang pasti beberapa tahun lebih muda dari bapakku, sebab pak Salam memanggil bapakku dengan imbuhan “Mas”. Pak Salam berperawakan sedikit tambun, malam ini mengenakan jaket parasut yang tertulis merek kendaraan bermotor buatan jepang, bukan jenis yang aku tumpangi saat ini, karena ada beberapa merek kendaraan buatan jepang yang dipasarkan di negara ini. Mungkin yang dikenakannya jaket pemberian. Sebelumnya pak Salam bertolak dari kota, demikian beliau menjelaskan setelah aku bertanya, yang kemudian secara kebetulan berjumpa denganku di perjalanan pulangnya.

Sesampainya di warung mas Rejo, sebagaimana sapaku terhadapnya. Pak Salam hendak lekas pamit, namun beliau bertanya terlebih dahulu dengan penuh perhatian, bahwa aku tak mengapa pulang seorang diri. Aku lantas mengiyakan, jika tidak mungkin beliau turut mengantarkanku kembali pulang. Hanya sampai di titik ini batas ketidaksungkananku, selain karena aku memahami bahwa beliau mungkin kelelahan seusai perjalanan yang cukup jauh dari kota.

Tak lama kemudian, setelah membeli 4 (empat) bungkus kretek, aku melenggang pergi dari warung mas Rejo. Menapaki jalan yang aku lalui sebelumnya. Malam ini memang tidak terlalu dingin, namun sangat sepi. Suara tonggeret pun tidak terdengar santer seperti malam-malam biasanya, seolah hanya berbisik. Seiring waktu berlalu, aku berada di tempat semula di mana secara kebetulan berjumpa dengan pak Salam. Tetap berjalan dengan tenang menapaki aspal keras sebagai patokan jalan yang minim penerangan. Dalam diam, sekonyong-konyong perasaan aneh menyeruak di lubuk, aku terhenti.

Aku memandang pepohonan mahoni dan jati seraya mencoba memahami perasaan aneh ini. Kegetiran atau pertanda agar waspada, bahkan aku tidak mampu menafsirkannya. Lekas aku membuka satu bungkus kretek yang sebelumnya hendak aku buka sesampainya di rumah. Barangkali dengan menghisap kretek akan mampu membuatku tenang untuk memahami perasaan aneh ini. Namun setelah beberapa kali hisapan asap yang panjang, kepulan demi kepulan, tidak merubah apa pun, aku justru kian merasakan keanehan. Perasaan aneh ini tetiba seakan memintaku untuk menoleh ke arah belakang, aku hendak melakukannya tanpa berpikir panjang. Akan tetapi, belum sampai aku menggerakkan leher untuk menoleh, seseorang mendekap leherku dari arah belakang, dengan sangat keras tanpa aku benar-benar melihat rupa dan perawakannya, seseorang lain membekap mulutku, yang terasa seperti kain yang telah dibasahi dengan cairan, aku mencium bau menyengat dan menusuk indera penciumanku. Nafasku menjadi sangat sesak, aku tak lagi dapat berpikir, apalagi memperkirakan perihal apa yang menyebabkan aku sesak nafas, dari dekapan yang keras ini atau lipatan kain yang membekapku. Aku berusaha melepaskan diri dari dekapan, namun tubuhku mendadak lemas dan lambat laun terasa kehilangan daya. Aku mencoba berteriak meski mulutku telah disumpal kain. Yang dapat keluar hanya suaraku yang mengerang dari lubang hidung.

“Diam!” ujar seseorang dengan nada pelan namun mengancam.

Tanpa mampu aku tanggapi, dengan tubuh yang kalah daya, seiring aku mulai kehilangan kesadaran.|

Mataku terbuka, namun pandanganku gelap, bukan oleh sekeliling, melainkan kepalaku dibuntel dengan kain hitam. Mulutku masih di sumpal, dengan kain yang diikat sangat kuat hingga rahangku merasakan kaku dan sakit. Sekujur tubuhku nyeri, perutku mual, kemudian ketika aku mulai sedikit menggerakkan badan, dadaku tak kalah merasakan nyerinya, tepatnya sebelah kanan, mungkin rusukku patah, karenaku rasa terdapat beberapa tulang bergesekan tak semestinya. Sementara tangan dan kakiku terikat, dengan badan yang menurutku telah setengah telanjang terduduk di kursi.

Aku mendengar suara langkah kaki, bukan seorang saja kudengar. Sejumlah orang, beberapa di antaranya menghasilkan suara derap yang mantap, semacam bunyi hentakan ke permukaan yang dihasilkan oleh sepatu lars. Tak berselang lama, seseorang mendekat, meraih kain yang membuntel kepalaku.

“Dia sudah sadar.” Ujarnya setelah menyibak sedikit kain yang berbau tak sedap ini.

“Bukalah sekarang!” Perintah dari seseorang yang agaknya tak terlalu jauh dari posisiku berada. Mungkin ialah sosok pemimpin dari bajingan-bajingan ini.

Sebelum dibukanya, seorang dihadapku menggamparku terlebih dahulu, dengan tangannya yang lebar dan keras. Aku merasakan amis darah di mulutku, entah dari gigi atau gusi. Kemudian dari tangannya meraih kembali buntelan kain ini, ditariknya sembarang dan secara paksa, hingga kepalaku turut berguncang. Turut dilepaskan sumpalan kain dimulutku.

Pandanganku buram, melihat sekeliling yang masih tampak kabur, hanya sedikit terlihat jelas terdapat cahaya yang merembet masuk dari ventilasi udara, menyilaukan mataku. Tubuhku masih lemas, dan benar aku telah dibuatnya setengah telanjang hanya dengan mengenakan celana dalam. Aku mencoba memalingkan muka ke arah sosok-sosok yang sebelumnya sekedar terdengar langkahnya, mereka berjajar di hadapanku. Sedikit demi sedikit pandanganku mampu memperoleh fokus, ketika melihat di antara mereka, beberapa tampang agaknya tidak asing.

Tak salah lagi, seseorang yang berada di antara para bajingan di hadapanku ini, dengan posisi sedikit menjuru di depan dengan lagak seolah memimpin, aku mengenalnya.

“Kau rupanya, Sadin!”

Ia tersenyum mendengar kalimat dariku yang mungkin menurutnya sebuah sambutan.

“Apa kabar, bung Dayat?” Tanya Sadin dengan seringai yang tampak bengis, “kurang baik?” tambahnya dengan dibubuhi gelak tawa ; “hahaha… mampus kau!”

Mendekatlah Sadin kepadaku, seketika kepalan tinju melayang, tepat mengena perutku, diikuti dengan kaki yang menunjang keras di bagian tubuh yang sama. Aku terjengkang ke belakang beserta kursi yang sejak mula ku duduki. Sangat-sangat sakit, aku hendak meraih perut, mengeramnya dengan kedua tangan seperti orang kesakitan di bagian yang sama pada umumnya. Namun kedua tanganku terikat, aku hanya mampu menggelinjang oleh sedikit daya dan mengeluarkan suara lirih.

Segera mereka membangkitkanku lagi, lebih tepatnya salah seorang dari mereka, yang diperintah Sadin sebelumnya untuk membuka buntelan di kepalaku. Ia sangat patuh seperti anjing yang dipelihara sejak lama oleh tuannya. Sakit diperutku tak kunjung mereda, aku menyadari nyaris dari sekujur tubuhku dipenuhi luka lebam, namun di kepalaku memaksa timbul banyak pertanyaan ; “siapakah mereka ini?”, “mengapa beberapa di antaranya mengenakan sepatu lars?”, “aparatkah?”, “kalaupun iya, mengapa bekerja sama dengan Sadin?”.

“Apa maumu?!” Teriakku pada Sadin.

“Prakkk!” Ia mendampratku, mengena di pelipis sebelah kiri dan lantas mengucur darah segar.  

“Begini Yat, biar aku berterus terang, aku kurang suka bertele-tele,” seraya kedua tangannya mencengkeram pundakku, “Kau masih terlibat dengan penolakan pabrik semen bukan?” Tanya Sadin dengan nada mengancam. “Para pembesar menginginkan orang yang sulit diatur seperti kau untuk dihabisi.” Imbuhnya, sementara aku tidak diberi kesempatan untuk menjawab.

“Para pembesar apa? Siapa?” Dalam benakku bertanya.

“Prokkk!” Ia mendampratku sekali lagi. Kemudian Sadin kembali mencengkeram kedua pundakku, seraya mendekatkan mukanya ke telinga kananku ; “kau juga masih berhubungan dengan Rosalisa kan?” Bisiknya, “beberapa waktu lalu aku melihat riwayat panggilan kalian berdua, jelasnya aku tidak menyukai hal itu, entah kau atau Rosa yang menghubungi terlebih dulu, aku tidak peduli!” Intonasi suaranya meninggi, namun tetap berbisik. Kemudian perlahan Sadin beranjak, kembali ke tempatnya berdiri semula bersama para bajingan itu. “Seorang brengsek memang harus bergaul dengan orang-orang yang brengsek pula.” Selintas dalam pikirku.

Dari kejauhan aku melihat siluet sosok lelaki lain, kurang jelas perawakannya. Aku berusaha memperhatikannya dengan mataku yang kembali tak fokus, buram, akibat pukulan demi pukulan yang dilancarkan oleh mereka berkali-kali, rasanya mulai bereaksi hebat nan buruk dalam tubuhku. Sebelum aku mengetahui siapa seseorang di balik siluet itu.

“Dorrr!” terdengar suara tembakan, yang rupanya baru aku sadari, tembakan tersebut ditujukan kepadaku. Aku tetap berada dalam posisiku, duduk kemudian sedikit tersentak. Sebuah peluru menghunjam dada sebelah kiriku, rasa nyeri menyusul, tepat menyasar di jantung. Rupanya tak seperti di film-film barat, kala sang korban terjungkal ketika ditembak akibat dorongan gaya kintetik. Nafasku mulai sesak, sangat sesak, seiring darah membanjiri dadaku, hangat. Dalam keadaan hidup telah nyaris, antara sadar dan tidak sadar, pandangan yang kian tak jelas. Sosok di balik siluet yang aku lihat sebelumnya telah ada di hadapanku. Tak dapat dipungkiri aku berusaha untuk mengetahui siapa lelaki ini, meskipun agaknya percuma, leherku tak kuasa menahan beban kepala, bahkan sekedar untuk mendongak, sungguh percuma, aku akan mati hari ini.

Sepurane Yat.” (Maaf Yat) Kata lelaki di hadapanku.

Aku mengenali suaranya, suara lelaki paruh baya. Kemudian seseorang itu meraih pundakku sama persis dengan apa yang dilakukan Sadin sebelumnya.

“Sepurane.” (Maaf) Kembali lelaki itu menyatakan permohonan, tepat di depan wajahku yang tertunduk. Dengan daya terakhir yang aku miliki, aku mencoba menatapnya,  lantas mata kami berdua saling bertemu pandang dan aku terkesiap.

“Pak Salam…” sebutku dengan nada lirih, menjadi kata terakhir dalam mangsa penghabisan.  Kemudian ia melepaskan genggamannya dari pundakku, berjalan mundur beberapa langkah. “Dorrr!” Peluru disasarkan kepadaku, ke jantungku untuk kedua dan terakhir kalinya, tatkala kesadaranku atas hidup akan tuntas. Pada momen ini, ketika malaikat maut datang tak berperi, aku mengingat mereka yang masih berjuang atas haknya untuk hidup, aku mengingat ibuku, aku mengingat kasihku Rosalisa, kesemuanya dalam beberapa detik sekaligus. Satu demi satu kelopak bungaku berguguran sejak malam itu, mereka yang sejak mulanya merangkai sendiri menjadi bunga yang elok atas kenangan baik dan buruk telah diregas, dirampas seluruhnya bersama jiwaku saat ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Komidi Putar

Siran, Sekali Upaya Penghabisan

Sastra dan Korelasinya Terhadap Situasi Sosial