Siran, Sekali Upaya Penghabisan

Hari itu cuaca tak cukup cerah, gumpalan awan dengan sedikit corak kehitaman membalut birunya langit. Angin bertiup cukup santer, dan tak berselang lama air berjatuhan dari angkasa. Satu demi satu, perlahan dan semakin deras. Seorang lelaki tengah berlari dari dalam rumahnya, dia menghampiri hujan. Suara guruh bersahutan, kilatan-kilatan cahaya, bergemuruh seperti sedang terjadi perkelahian hebat di atas sana. Lelaki itu bergelagat aneh, dia berdiam diri di tengah hujan, sementara pandangannya tertuju ke langit. Matanya yang sayu memiliki banyak kerutan di kelopaknya, menjadi setengah terpejam. Dia tersenyum, mengisyaratkan bahwa dirinya tidak takut meski suara guntur kian berseliweran.

Setelah genap satu jam dia bertahan dengan posisi yang sama, sekonyong-konyong dia berjalan tak tentu arah. Sekujur badannya basah, dan dia sendiri terlihat menggigil, dengan mulut terkatup. Tak ada seorang lain di sana, hanya dia sendiri. Memang di lingkungannya ketika hujan datang, orang cenderung berdiam diri di rumah dan menutup rapat-rapat segala celah. Namun, dia cukup tahu batasan, dengan kemudian dari tingkah absurd beberapa saat lamanya ia lakukan, dia masuk kembali ke dalam rumah. Tanpa berbilas dan mengeringkan badan, dia hanya terduduk di lantai merapatkan kedua kaki, dan menangis. Air bukan lagi hanya jatuh dari angkasa, melainkan juga cukup deras dari kedua bola matanya. Di dalam salah satu ruangan rumahnya itu, terdapat lumayan banyak barang yang ditumpuk tak beraturan, seperti buku-buku, koran dan jurnal. Yang tidak biasa adalah bagaiamana dia meletakkan lukisan. Ada beberapa lukisan, salah satunya adalah rupa sekumpulan orang yang mengepalkan tangan kiri seperti menyerukan sesuatu. Di sudut atas sebelah kanan lukisan tersebut ada symbol bintang merah terang. Dia masih menangis tertunduk, dengan sesekali menyaksikan lukisan yang menghadapnya.

“ke mana perginya perjuangan itu?” keluhnya setelah lama tak bersuara.

- - - - - - - - - -

Dia tinggal di suatu perkampungan, cukup terpencil di daerah Jawa Tengah bernama desa Sambisari. Dia bukan lahir di sana, dia datang sebagai pendatang baru terhitung dua tahun lalu. Meskipun demikian, dia cukup berbaur dan sudah tak asing dengan warga di sana, bahkan beberapa warga lain sudah menganggapnya seperti keluarga. Pak Sarwa dikenal sebagai kepala dusun, tak segan memberikan salah rumah yang sekarang dia tinggali seorang diri, sebenarnya dia mengontrak, namun menurut pak Sarwa, dia boleh membayar sekenanya. Namun segan di hati Siran untuk sekedar hidup menumpak tanpa memberi timbal balik, maka setahun pertama dia tinggal di sana dia membayar biaya kontrak rumah tersebut kepada pak Sarwa. Warga setempat mengenal Siran sebagai pemuda cekatan yang sigap dimintai pertolongan apa saja, seperti ketika salah seorang anak tetangganya sakit. Kampung tersebut jauh dari klinik, puskesmas, lebih lagi rumah sakit. Siran segera meminjam mobil pak lurah yang ada di dusun seberang untuk segera membawa anak tetangganya ke pusat pelayanan kesehatan terdekat, di luar kecamatan, yang lebih dekat dari wilayah pusat kecamatan dari desa Sambisari. Selain itu, Siran sering diminta pertolongan perkara persoalan perbaikan rumah seperti mengecat, membetulkan genteng yang bocor, atau sekedar menjaga ternak yang ditinggal pemiliknya menjual hasil panen ke kota.

Warga di kampung itu tidak tahu betul dari mana asal Siran, mereka mungkin segan untuk bertanya lebih terkait pribadinya. Yang mereka tahu Siran adalah orang baik, mereka tahu bahwa Siran rela meninggalnya pekerjaannya sebagai abdi negara yang terbilang sebelumnya telah membuat hidupnya mapan, hanya untuk berbagi penderitaan dengan warga kampung atas dasar perampasan lahan.

- - - - - - - - - - -

Siran sebelumnya tinggal di Yogyakarta, dan bekerja di salah satu instansi yang bergerak di bidang pelayanan hukum. Namun Siran demikian faktanya bahwa ia pula menjadi perantau di Yogya, dan masih tidak ada yang mengetahui pasti dari mana ia berasal dan dilahirkan. Orang-orang sebatas mengetahui bahwasannya ialah Siran dengan segala perbuatannya, sementara yang tidak diketahui jauh lebih banyak dan dibiarkan ia menjadi ala kadarnya. Memang demikianlah hidup itu, apa yang seorang tahu tentang orang, musti hanya setitik debu daripada yang dirasa seorang itu sendiri. Hal demikian banyak menjada akar permasalahan, pertengkaran dan permusuhan di antara sesama, atas dasar kesalahpahaman. Siran terkenal piawai dalam bidangnya, dalam mengadvokasi warga kampung terkait tanah. Mungkin itu alasan utama mengapa Siran memilih singgah lebih lama di Sambisari hingga saat ini. Namun kesalahan bagi Siran, keputusannya itu mendatangkan persoalan yang cukup besar di benaknya. Kesalahan yang tidak dapat ditebus bahkan dengan darah dan jiwanya.

Desa Sambisari, di salah satu perkampungan yang menjadi bagiannya atau secara legal dokumen dan formal disebut dusun, dimana sekarang Siran berada. Lingkungan yang sejuk nan asri bila kita menyaksikannya dengan sudut pandang wisatawan. Panorama alam, berhias tebing-tebing bebatuan yang seolah membentengi kampung itu dari bencana.  Sekawanan lebah madu tengah mengantri masuk ke dalam sarangnya di atas pohon Randu Alas, setelah bergiliran menghisap nektar dari bunga-bunga Lantana yang tumbuh liar. Burung Alap-alap dengan gagahnya bertengger di dahan besar pohon beringin, dengan sorot mata tajam, dengan posisi tegap tiada yang tahu apa yang menjadi daya tarik penglihatannya, mungkin apa-apa saja yang didapatinya sebagai mangsa. Di bawah pohon beringin, terdapat sumber mata air yang tidak dapat dikira kapan mulanya, sejak moyang mereka menjadi sumber air bersih utama. Dalam satu sekali setahun diadakan upacara adat di sana, sebagai ungkapan rasa syukur terhadap sang pemelihara hidup.

- - - - - - - - - -

Keputusan untuk singgah tidak barang sebentar di kampung itu adalah kesalahan menurut Siran, membuatnya sekarang dalam keadaan mental yang tidak dapat dijelaskan. Ia menjadi sering bermandi hujan, berteriak menghadap langit, bahkan memaki sembarang arah. Warga kampung mencemaskan keadaanya, sekarang dirinya lebih sering mengisolasi diri, dan tubuhnya mulai kehilangan berat badan, hal demikian disadari tetangga tempat tinggal Siran. Mereka diantaranya segan untuk bertanya, merasa bahwa tak patut untuk turut campur urusan pribadi seseorang, terlebih lagi Siran bukan warga asli Sambisari.

Pada suatu keadaan, seorang warga yang tinggal berdampingan dengan kediaman Siran mengadu kepada pak Sarwa selaku kepala dusun setempat, dengan dalih ketidaknyamanan yang dialaminya sekeluarga atas perilaku Siran belakangan.

“Setiap malam Pak, kami tidak dapat untuk tidur nyenyak.” Ungkapnya.

Pak Sarwa, lelaki setengah baya itu mendengarkan dengan seksama tanpa memberi tanggapan.

“Mas Siran Pak… Mas Siran!”

“Ya, ada apa dengan Siran?” Tanya pak Sarwa dengan tenang.

“Setiap larut malam, mas Siran bergelagat aneh, berterik-teriak kencang, kadang kami sekeluarga mendengar suara teriakan itu diselingi tangis, kemudian mas Siran melanjutkan teriakan hingga menjelang pagi mas Siran berhenti.”

“Teriakannya sangat kencang hingga terdengar jelas dari bilik-bilik kami, disebutnya terus satu kata dan berulang dalam teriakkannya,”

“Widia… Widia…, begitu Pak.” Ditirukannya seruan Siran oleh warga itu, sekaligus mengakhiri keluhnyanya kepada pak Sarwa.

Seusai mendengarnya, pak Sarwa masih seperti biasa dalam keadaan tenang memberi jalan penyelesaian, olehnya kemudian mengajak beberapa warga setempat untuk mengunjungi kediaman Siran. Meski jalan penyelesaian yang pak Sarwa maksud sekaligus kehendak yang akan mereka lakukan hanya didasarkan ketidaktahuan mereka atas apa yang tengah dialami Siran.

- - - - - - - - - -

Di keesokan hari, pak Sarwa beserta warga yang dimintanya untuk turut serta, tiba di kediaman Siran.  Pak Sarwa di muka pintu yang diketuknya seraya memberi salam, dan sudah sekian kali namun tidak ada sahutan dari dalam. Ketukan di pintu oleh pak Sarwa bertambah sedikit lantam.

“Mas Siran… Mas… Kulanuwun…” Serunya.

Setelah berkali-kali ketukan tidak ada balasan, mulai risau hati pak Sarwa, tidak menjadi hal biasa menurutnya. Namun kemudian didapatinya pintu itu ternyata tidak dikunci dan dibukanya perlahan, dengan segera gerak langkah pak Sarwa secara tenang memasuki kediaman Siran. Dilihatnya keadaan rumah yang berantakan, dinding-dinding berisi coretan-coretan cat yang hanya tertulis satu kata berulang ; “Widia”. Semua ruangan tertutup rapat, kecuali satu ruangan paling belakang. Pak Sarwa mendekati ruangan itu, tetapi belum mencapai ambang pintu, pak Sarwa sudah dibuat terkesiap oleh pemandang yang disaksikannya. Sesosok tubuh menggantung dengan rantai besi melilit melingkar di leher tidak sadarkan diri. Mulut seorang itu mengeluarkan busa yang berwarna merah dengan lidah yang menjulur. Mata sosok itu terbuka dengan raut kecemasan. Ialah Siran sebagai sosok tubuh yang sudah mati dan menjadi mayat tak tahu diri. Disaksikan pak Sarwa dengan sadar, sekujur tubuh yang menggantung menapaki udara, bahwa Siran yang tidak diketahui jelas asal muasalnya, tempat dilahirkannya ia menjadi seorang manusia hidup, telah menyodorkan nyawa secara paksa ke alam baka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bunga Rampas

Komidi Putar

Sastra dan Korelasinya Terhadap Situasi Sosial