Komidi Putar

Aku tengah berjalan santai ketika matahari senja memberi kesan pada langit menjelang malam. Di gang kecil yang bising, di depan warung penjual tuak aku mencari botol sisa minumku semalam. Sementara meja dan kursi yang tak teratur menjadi tempat duduk para pemabuk setiap malam hingga pagi buta. Tanpa sengaja kepalaku terbentur meja ketika menunduk—membuatku tersentak. Ketika aku bangkit sembari memegang bagian belakang kepalaku yang terasa nyeri, seseorang telah berada di hadapanku, dia si penjaga warung tuak ini. Si penjaga warung tuak bukanlah kawanku, namun kita saling akrab karena sekiranya dalam dua hari sekali aku datang ke sini. Dia menyapaku dengan wajah menyeringai, terlihat lingkaran hitam di sekitar matanya yang mengerikan, menandakan dia jarang tidur malam.

“Apa yang kau cari?”

“Minumanku semalam!”

“Aku buanglah sudah.” Katanya.

“Oalah, baik.” Jawabku.

Kemudian aku melanjutkan berjalan dengan santai, ke arah alun-alun—aku baru mengingat malam ini adalah Sabtu malam. Jalanan dipadati pasangan-pasangan yang berkencan entah kasmaran, jelasnya aku tidak peduli. Lampu lalu lintas menyala merah, cukup mengherankan aku yang berjalan kaki juga turut berhenti; “apakah aku masih mabuk? atau ini efek panopticisme ala Foucault?" pikirku.

Beberapa jam lalu sebelum aku mencari bekas minumku semalam, seorang kawan datang ke rumahku membawa setandan pisang, katanya baik untuk pencernaanku. Aku tidak memakannya, kita tidak banyak mengobrol dan dia hanya berlalu pergi.

Setelah berjalan dengan arah yang telah aku pastikan hanya lurus ke depan sejak mulanya, aku sampai di alun-alun kota. Pemandangan yang aku saksikan tak berbeda dengan jalan raya, hanya berisi muda-mudi. Agaknya aku memerlukan penghiburan lain malam ini—dari kejauhan aku menyaksikan sesuatu yang berbeda, warna-warna lampu yang beragam memancar di kegelapan malam. Tak jauh dari alun-alun terdapat pasar malam, aku segera mendatanginya dengan berjalan lebih cepat dari sebelumnya, karena aku telah memiliki tujuan—sebuah pasar malam.

Aku berhenti di depan loket karcis, sialnya uangku kurang 500 (lima ratus) perak untuk menaiki komidi putar, aku menawar pada penjual karcis itu, setelah kurang dari tiga menit, oleh kemauanku yang menggebu menjadi paksaan, si penjual karcis memberikanku satu karcis dengan durasi menaiki wahana menjadi dipangkas 15 (lima belas) menit dari 1 (satu) jam.

Rupanya komidi putar tidaklah mengasyikkan seperti pengharapanku tentang hiburan sebelumnya. Apakah karena usiaku yang telah menginjak 25 (dua puluh lima) tahun? Sehingga aku tak pantas mendapat kebahagiaan dari hal sederhana semacam ini?. Padahal dahulu ketika aku kecil, menaiki wahana semacam ini cukup membuat suasana hatiku menjadi riang. Namun kali ini aku tidak merasakan apa pun, kecuali keheranan yang kurasakan karena orang-orang menyaksikanku sembari menutup mulut rapat-rapat. Apakah mereka menahan tawa?.

Tak kurang dari 12 (dua belas) menit aku turun dari komidi putar itu, aku meminta kepada si penjual karcis agar setengah uang pembelian karcisku dikembalikan. Kali ini dia menolaknya tanpa kompromi, meskipun aku telah memaksanya dengan menarik kerah bajunya dengan maksud menantangnya berkelahi. Tetiba dua orang datang dari arah belakang loket karcis, seorang berbadan gempal dengan kulit gelap dan bertato seperti untaian kalimat panjang di tangannya sebelah kanan yang tak jelas apa tulisannya, tepat di atas sikut. Sementara seorang lain berbadan kurus, sedikit lebih pendek dariku dan setengah wajahnya ditumbuhi bulu, melihatku dengan tatapan tajam.

Tak terhindarkan, seseorang yang gempal meninjuku tepat di pelipis. Sebuah bagian yang rawan, maka darah pun mengalir dari sana oleh luka sobekan yang tak aku ketahui seberapa lebar. Kemudian aku berusaha untuk melarikan diri, si kurus yang memiliki bulu wajah menjatuhkanku dengan sekali tendangan dari belakang, mengena tepat di atas pinggangku.

“Sudah puas kau?!” kata si kurus.

Aku tidak dapat menjawabnya, karena mulutku masih di permukaan tanah—mencumbu rumput kering. Kemudian salah satu di antara mereka menyeret kakiku, membuat wajahku menghadapi berbagai macam benda yang berada di permukaan tanah, kerikil, sarang semut dan sampah-sampah. Ketika aku dipaksa berdiri, aku telah berada di tempat gelap. Keduanya memukuliku dengan membabi buta, namun aku tetap tersadar dan pada puncaknya aku tertawa, mengingat bahwa aku sering mengalaminya.

Mereka meninggalkanku dengan keadaan tak karuan, baju yang aku kenakan hanya satu lapis terkoyak di bagian lengan kanan. Rasanya benar-benar sakit sekujur badan, agaknya pelipisku kini lebam, mungkin salah satu rusukku retak, pukulan si gempal tadi cukup kuat.

Kemudian aku keluar dari area gelap, apakah area semacam itu sengaja dibuat untuk memukuli orang-orang yang tidak mau membayar tiket? Tak ada lampu penerangan sama sekali di area itu, tidak sewajarnya karena aku berada di tengah semarak pasar malam. Seketika angin kencang datang, menggugurkan banyak daun-daun kecil dari pohon trembesi. Sementara aku berjalan dengan menyeret kaki, agaknya telah terkena tendangan tepat di tempurung lututku. Setelah agak jauh dari keramaian aku menemukan sebuah tempat duduk yang terbuat dari besi, aku telah sampai di taman kota, keadaan sepi namun tidak gelap seperti area di mana aku dipukuli sebelumnya. Di sini banyak lampu penerangan namun hanya sewarna.

Seekor binatang berkumis, berekor dan berkaki 4 (empat) menghampiriku dan tampaknya dia mengendus bebauan di sekitarku. Ia mendekatkan tubuhnya di kakiku yang sakit. Tubuhnya yang kurus dan sungguh kentara bahwa ia tengah menanggung pesakitan. Binatang berkumis, berekor dan berkaki 4 (empat) itu tetiba berlari seolah mengejar mangsa, dari arahnya seorang perempuan datang memberinya makanan, rupanya itulah yang menjadi tujuannya berlari.

“Bolehkah kau membaginya juga padaku?” Tanyaku dengan suara pelan.

“Kau manusia?” Dia bertanya tanpa melihatku.

“Bukan, aku adimanusia.”

“Ini makanan kucing.”

“Iya aku tahu.”

“Lantas?” Sekarang dia telah mengalihkan pandangannya dari kucing itu—menatapku dari jarak tak kurang dari 5 (lima) meter sembari tersenyum dengan manis, namun tampak terdapat kecurigaan terhadapku di matanya.

“Aku hanya ingin berkenalan denganmu.”

Mendengar pernyataanku membuatnya berpaling muka, yang disusul dengan sikap duduk bertinggung perempuan itu membelai binatang berkumis, berekor dan berkaki 4 (empat) yang masih makan dengan lahap. Secara kebetulan sikapnya disambut dengan datangnya angin—membuat rambutnya yang memiliki panjang nyaris sepinggang terburai ibarat tirai yang menyibak sesuatu yang telah lama tersembunyi. Meskipun tidak berdekatan aku masih mampu memperhatikan dengan seksama wajahnya yang memesona. Namun, rupanya hal lain juga dibawa oleh angin itu, udara dingin yang menusuk kulit dan luka-lukaku terasa ngilu. Aku agak menggigil dibuatnya, cukup mengkhawatirkan sehingga tanganku bersedekap memeluk erat perutku yang kosong yang terancam tertembus angin.

“Kau masih mau makanan kucing ini atau sebuah syal?” seketika perempuan itu bertanya dan menawarkan, rupanya dia cukup peka dengan keadaan orang lain. Terutama yang aku perlukan sekarang adalah benda yang mampu menghalau hawa dingin, untuk dapat bergerak mencari makanan setelahnya. Maka, aku mengiyakan syal yang dia tawarkan, segera dia berjalan mendekat ke arahku, membuka tas ransel yang dijinjingnya.

“Mengapa kau tak mengenakan tas itu dipunggung saja? Apakah tidak merepotkan?”

“Membuat punggungku menahan beban sepanjang hari jauh lebih merepotkan.” Sembari dia mengeluarkan syal berwarna biru muda yang masih terlipat rapi, dia segera memberikan syal tersebut kepadaku. Aku mengenakannya tanpa berpikir panjang, sebab konon kelaparan membuat diri seseorang sangat rentan, oleh penyakit maupun hal lain-lain yang cenderung buat diri seseorang merugi. Meskipun dingin yang aku rasakan barang sebentar dapat mengalihkan rasa lapar, namun aku tetap memerlukan makan. Sejak semalam perutku hanya aku isi dengan bir dan tuak, sejenak aku jua berusaha mengingat bahwa aku hanya memakan sepotong roti di pagi hari tadi.

“Sudah cukup hanyat?” Tanya perempuan itu.

“Lumayan.” Segera aku menjawabnya.

“Baiklah, sekarang aku akan pergi.”

“Ke mana?” Tanyaku.

“Apa urusanmu?” Jelasnya.

“Tidak ada, aku hanya ingin mengenalmu,” sekali lagi aku menyatakannya, “Siapa namamu?” Lanjutku bertanya.

“Anna.” Dengan singkat dia menjawab dan segera berlalu.

Angin seketika datang kembali untuk ketiga kali pada malam ini, begitulah yang aku sadari, kali ini ia tidak membawa udara dingin seperti sebelumnya, namun menyiratkan sesuatu yang membuat perasaanku menjadi agak aneh. Apakah karena aku lupa bertanya kepada perempuan itu bagaimana aku dapat mengembalikan syal ini?. Aku juga menyadari bahwa binatang berkumis, berekor dan berkaki 4 (empat) itu telah hilang dari pandanganku. Aku memutuskan melanjutkan perjalanan, entah ke mana tujuanku malam ini. Sebenarnya aku ingin beristirahat, tertidur di tempat yang nyaman, akan tetapi langkah yang aku ambil malam ini telah demikian banyak dan menjadi demikian jauh dari rumahku. Terlalu menguras tenaga bilamana aku masih mampu mengulangi langkahku untuk pulang, agaknya aku memerlukan banyak energi untuk melakukan hal itu.

Aku masih di taman kota ketika malam telah nyaris mencapai ujungnya untuk menyambut pagi. Aku merebah di atas kursi taman, keras dan dingin karena terbuat dari besi. Bintang-bintang tidak terlalu tampak di daerah perkotaan, konon katanya karena polusi cahaya yang dipijarkan oleh gedung-gedung tinggi menjulang milik para kapitalis. Tak lama sebelum aku tertidur, mendengar gesekan reranting pepohonan di taman kota, siul anak-anak burung cabak di sarangnya, menjadi langgam malam yang cukup membuai, mengingatkanku dengan suasana kampung halamanku. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bunga Rampas

Siran, Sekali Upaya Penghabisan

Sastra dan Korelasinya Terhadap Situasi Sosial