Hal Ihwal Kekerasan Budaya
Sebagian
besar awam hanya mengetahui bahwa suatu perkara dapat dikategorikan sebagai
konflik jika sudah melibatkan kekerasan fisik antara dua golongan atau kelompok
yang sejak mulanya telah berseberangan. Dalam hal ini kekerasan fisik menjadi
dominan dalam perspektif mereka, bahwa siapa yang memulai menggunakan kekerasan
fisik adalah pihak yang patut diadili dan disalahkan sebagai terdakwa dalam
memprakarsai terjadinya konfrontasi. Padahal kekerasan berdasarkan bentuknya,
selain kekerasan fisik ada juga kekerasan structural dan kekerasan psikologis.
Ketiganya adalah jenis kekerasan yang sering dikaji oleh para pakar dari
diskursusnya masing-masing. Meski ketiganya adalah satu akar kesatuan dari
kekerasan di mana kekerasan sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu perbuatan
yang secara sengaja dilakukan oleh individu atau kelompok dengan tujuan
menindas yang lebih lemah agar mendapatkan penderitaan, sementara pelaku dapat
memperoleh keuntungan dari perbuatannya tersebut. Berdasarkan aktualisasinya
dalam pergaulan hidup, masyarakat awam terlalu concern terhadap tindak yang
secara berlangsungnya berpengaruh terhadap fisik semata, sehingga menafikan
kekerasan lain yang telah dikategorikan dengan cukup baik. Ketidaktahuan ini
ternyata memberi dampak yang sangat signifikan pada keberlangsungan nilai-nilai
sosial kita, terutama jika kita mengilas-balik sejarah Indonesia khususnya
pasca tahun 1965. Setelah kekuasaan beralih dari demokrasi terpimpin ala
Soekarno, ke orde baru oleh Soeharto yang dalam perkembangannya secara pesat
dapat menjadikan pemerintahan sebagai pusaran kontrol dari segala macam
bidang/sektor, salah satunya terhadap lapangan kebudayaan.
Secara
etimologis, kata “Kebudayaan” berasal dari bahasa Sanskerta, yakni Buddhayah,
sebagai bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti akal atau budi. Sehingga
budaya dapat diartikan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Selain
dari pengertian tersebut, dapat pula disampaikan bahwa kebudayaan merupakan
suatu sistem yang melingkupi ide dan gagasan terhadap kompleks aktivitas
manusia yang berpola atau disebut wujud sistem sosial. Sementara, konkretisasi
kebudayaan dalam wujud materi adalah benda-benda yang diciptakan manusia
sebagai makhluk yang berbudaya. Kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan kemasyarakatannya.
Sebelum
menelaah lebih jauh apa itu kekerasan budaya, perlu kita ketahui produk-produk
kebudayaan yang diantaranya seperti ; ideologi, bahasa, seni, dan pengetahuan.
Singkatnya melalui produk-produk kebudayaan tersebutlah yang kemudian dapat
melegitimasi praktik kekerasan baik yang dilakukan secara langsung (fisik)
maupun tak-langsung (structural). Menurut Johan Galtung (1990) ; bahwa
legitimasi atas kekerasan langsung dan tak-langsung, yang biasanya dilakukan
melalui produk-produk kebudayaan, juga merupakan bentuk kekerasan.
Kata “legitimasi” yang digunakan sehubungan dengan praktik kekerasan yang
dilakukan oleh suatu rezim pemerintahan, mengartikan bahwa kekerasan dapat
“dibenarkan” melalui produk-produk kebudayaan yang dipergunakan untuk
mentranformasi nilai-nilai moral dan ideologis, dengan tujuan agar masyarakat
dapat melihat bahwa praktik kekerasan adalah peristiwa normal dan alamiah. Dari
sini dapat kita ketahui bahwa produk-produk kebudayaan tidak hanya dapat
dikondisikan sebagai pemenenuhan kebutuhan kemasyarakatan, melainkan dapat
menjadi kaidah dan metode bahkan boleh dikatakan sebagai siasat dalam upaya
untuk mendominasi sebagian besar masyarakat lain yang tidak menjadi target
perbuatan kekerasan dengan membenarkan perbuatan yang telah mereka lakukan
dengan produk-produk kebudayaan tersebut. Demikian daripada maksud legitimasi
oleh suatu rezim pemerintahan, jika telah mencapai apa yang diharapkan dengan
siasatnya, tahap selanjutnya adalah upaya merekonstruksi melalui produk-produk
kebudayaan yang telah ada, meskipun produk-produk kebudayaan yang berkaitan,
seperti halnya dalam praktik bidang kesenian selama ini telah menjadi bagian,
dari masyarakat yang menjadi korban kekerasan.
Sebagai
acuan untuk merepresentasikan kekerasan budaya tersebut secara praktiknya,
mencontoh kasus terdekat dari riwayat bernegara kita adalah pembantaian
1965-1966 terhadap orang-orang yang dituduh menjadi bagian atau sekiranya
berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Negara kala itu menciptakan
narasi-narasi sebagai upaya melegitimasi perbuatan mereka atas hilangnya ribuan
nyawa manusia, terhadap masyarakat sebagai objeknya. Narasi-narasi tersebut
kemudian nyatanya menciptakan pengaruh dalam masyarakat sehingga menimbulkan
keinginan beberapa golongan masyarakat untuk menjadi partisan. Selain akibat
dari legitimasi adalah tindakan yang negara perbuat dapat dibenarkan oleh
masyarakat tersebut, negara juga mendapat perlindungan terhadap desakan dari
pihak yang kurang berkenan oleh perbuatan mereka dengan mengajukan dalih bahwa
yang melakukan perbuatan tersebut adalah masyarakat awam yang sebelumnya turut
menuntut pembubaran PKI. Pasca peristiwa tersebut, narasi-narasi yang
diinisiasi oleh negera tetap dilanggengkan. Menggunakan produk-produk
kebudayaan melalui berbagai media ; film, kurikulum pendidikan, pameran-pameran
di museum, patung, dan mungkin yang paling umum, seni pertunjukan tradisional.
Bertambahnya macam produk-produk kebudayaan yang digunakan untuk melancarkan
narasi-narasi oleh negara, berkembang pula tujuan atas legitimasinya, bukan
lagi pembenaran atas perbuatan sebagai intensi, melainkan untuk menciptakan
amnesia selektif. Bersama dengan program nasionalismenya yang secara
terminologi oleh Benedict Anderson (1991) dinyatakan sebagai konsep
“standarisasi” yang terbentuk dari upaya yang kompleks untuk menyusun ulang
kekuatan sejarah dan dapat dicangkokkan ke dalam berbagai tingkat kesadaran
manusia, untuk menghasilkan berbagai medan sosial serta konstelasi politis dan
ideologis terbaik.
Pembahasan
yang lebih jauh terkait kekerasan budaya ini akan merujuk pada tingkat domestic
bahkan ke pedesaan oleh negara dengan upaya merekonstruksi ulang praktik-praktik
budaya dengan wajah baru ala rumusan negara serta menasionalisme-kan berbagai
macam bentuk seni pertunjukan yang sebelumnya praktik-praktik budaya tersebut
adalah warisan tradisional yang murni, otentik, atau tak tercemar. Seni-seni
pertunjukan yang sebelumnya dilangsungkan oleh rakyat dan untuk rakyat itu
sendiri di kemudian hari setelah “distandarisasi” oleh negara dijadikan sebagai
media propaganda atas keterlibatannya dengan proyek negara-negara barat untuk
multikulturalisme global, dimana seni-seni pertunjukan tradisional sebagai
bagian dari produk kebudayaan menjadi aktif dan fleksibel dalam konteks
melayani pemodalan global.
Jadi,
kekerasan budaya ini dapat dikatakan sebagai sarana melegitimasi kekerasan
secara langsung maupun tidak langsung. namun, kekerasan budaya sebagai salah
satu kategori kekerasan memang sulit diidentifikasi, sebab sulit untuk dikenali
dan diukur. Meskipun, kekerasan jenis ini memegang peran krusial dalam
masyarakat. Masih Johan Galtung (1990), hal ini karena kekerasan budaya adalah
"sesuatu yang 'permanen', artinya, secara esensi, selalu akan bersifat
sama untuk jangka waktu yang sangat lama, menciptakan sebuah transformasi
lambat terhadap dasar sebuah kebudayaan" yang menceramahi, mengajarkan,
mengecam, mengarahkan dan mengaburkan kita untuk melihat eksploitasi dan
represi menjadi hal yang lumrah dan alamiah atau untuk tidak melihatnya sama
sekali.
Pembahasan
terkait kebudayaan memang masih dianggap kurang urgent dibanding dengan
pokok-pokok bahasan yang lain, mengapa demikian? Karena mungkin seorang
cenderung mengetahui kebudayaan ini sekedar istilah sematan dalam kondisi
sosial. Padahal, bagaiamana pandangan seseorang terkait kebudayaan akan lebih
mudah untuk memilah budaya mana yang lebih tepat dianutnya dalam pergaulan hidup
bermasyarakat. Dengan adanya upaya dimana produk-produk kebudayaan dijadikan
sebagai alat untuk melegitimasi kekerasan, patut seseorang menentukan
keberpihakannya. Keberpihakan ini saya maksudkan setelah khalayak dapat
memahami posisi pihak yang oleh adanya kekerasan budaya mengalami
ketertindasan, dan di sanalah terjadi ketimpangan sedari dilancarkannya
kekerasan budaya melalui produk-produknya, bahkan hingga saat ini. Para korban
dari kekerasan budaya yang menjalankan praktik-praktik budaya khususnya seni
pertunjukan tradisional, sebagaimana yang saya ketahui sebagian besar dari
mereka adalah pelaku sekaligus pewaris kebudayaan rakyat, kebudayaan yang
membumi. Nyoto (1950) pernah menyatakan bahwa hanya ada pertentangan dua asas
besar, yakni kebudayaan rakyat dan kebudayaan bukan rakyat, dan tak ada jalan
ketiga. Maka saya harap dan sekaligus terbilang menjadi pemecahan adalah dengan
memulihkan kebudayaan rakyat yang telah ada seperti sediakala sebelum
dilancarkannya kekerasan budaya untuk membenarkan atau melegitimasi praktik
kekerasan fisik maupun structural oleh "pelakunya".

Komentar
Posting Komentar