Humanisme Borjuis: Sesuatu Yang Mendarah Daging

Apa yang ada dipikiran kalian ketika mendengar kata “Humanisme”? Masihkah menanggapnya sebagai musuh berbahaya sama halnya pendapat para kalangan religius? Atau sebagai jalan pembebasan bagi manusia-manusia yang tercekik oleh doktrin-doktrin fanatisme agama?. Kedua pandangan yang berseberangan sebagai kontradiksi yang memuncak pada abad pertengahan di Eropa, dimana banyak agama pada masa itu hanya menyebarkan momok penyiksaan di balik kubur, namun terlalu sedikit menaruh perhatian terhadap realitas keadaan yang dihadapi pada saat itu. Humanisme justru berkembang melalui celah-celah kehancuran abad pertengahan dengan menegasikan dogma-dogma yang telah menghantarkan ketakutan berlebih terhadap manusia, melalui pendekatan rasional terkait penelitian secara cermat akan keduniawian dan alamiah manusia. Lain halnya di Indonesia, kita tidak boleh memungkiri bahwa kita sesungguhnya dekat dengan humanisme, bahwa para pendiri bangsa meletakkan humanisme yang termuat pada sila ke-2 (kemanusiaan yang adil dan beradab) untuk mewadahi keanekaragaman watak manusia Indonesia sebagai sebuah bangsa.

Hingga satu pandangan yang mungkin masih terdengar asing ditelinga awam dan sangat jarang untuk disinggung, yakni “humanisme borjuis”. Mungkin Georg Lukacs pernah menjelaskannya menjadi muatan dalam kumpulan tulisannya yang bertajuk Realisme Sosialis, dengan tajuk buku yang sama Pramoedya Ananta Toer juga pernah menyinggung terkait humanisme borjuis yang disetara artikan dengan humanisme universal sebagai pembahasan khas polemik sastra Indonesia tahun 50an. Namun, ada baiknya kita pahami betul humanisme borjuis itu sebagai sebuah pemikiran/pandangan filsafat, dengan menguraikannya sedikit lebih fokus, sehingga tidak mudah orang menyimpulkan bahwa humanisme borjuis tak lain sekedar humanisme ala klas borjuis. Sehingga humanisme ini tidak hanya dipaparkan secara sempit dalam ruang ideologi kebudayaan yang digunakan untuk melawan praktik kebudayaan kiri.

Dari sedikitnya argumentasi yang dikemukakan masyarakat dunia modern tentang humanisme borjuis, yang kebanyakan sekedar direpresentasikan sebagai budaya tandingan humanisme proletar, beserta klasifikasinya masing-masing. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa lahirnya humanisme proletar memiliki maksud utama untuk mengcounter idelogi budaya milik klas-klas dominan tersebut. Klasifikasi yang dimaksud merupakan hasil pemahaman secara mentah, memang benar terdapat selisih yang saling berlainan antara humanisme borjuis dan humanisme proletar, dimana humanisme proletar memanifestasikan berbagai macam watak dalam diri manusia, diantarnya adalah rasa malas, tidak jujur, egoisme dan lain sebagainya. Di sisi lain humanisme proletar dapat dipahami memiliki watak berkebalikan dari itu semua.

Namun dalam menanggapi pemahaman mentah dari humanisme borjuis itu belum banyak yang dilakukan, seolah humanisme ini menjadi hal yang disepelekan, sedangkan efeknya yang tengik telah menjangkit dalam mayoritas pergaulan hidup kita semua. Humanisme borjuis yang perlunya kita sangkal telah mewabah, bukan hanya kepada orang-orang dengan latar belakang kepemilikan modal/alat produksi, melainkan terhadap klas pekerja juga tak luput telah mengidap wabah tersebut.

Humanisme yang dilandaskan pada rasionalitas manusia, dimana rasionalitas itu sendiri dipengaruhi oleh sifat batin atau watak. Namun terlepas dari proses merasionalisasikan potensi manusia, justru kebisaan manusia itu diolah sedemikian rupa bersanding dengan gagasan liberalisme barat menjadi setaraf nilai hidup dalam pergaulan masyarakat majemuk pada khususnya. Kemudian membuahkan suatu pandangan yang dapat kita kenal sebagai humanisme borjuis, yang mana bertujuan untuk melanggengkan operasi kapitalisme dalam rantai produksi segala bentuk komoditas, dengan menciptakan nilai-nilai kemanusiaan melalui ideologi budaya yang selalu mereka up to date atas kegandrungan individu masyarakat pada suatu momen terhadap gaya hidup yang dianggapnya lebih maju dan lebih teranyar, sehingga menimbulkan kesan FOMO oleh nilai-nilai yang diciptakan dalam agenda besar kapitalisme global.

Maka humanisme borjuis ini sendiri dapat dikatakan sebagai konsepsi untuk melancarkan suatu sistem sosial yang menyeluruh. Melalui cara dan jalan yang sekiranya cukup sulit kita identifikasi. Lain dengan yang dimaksud oleh Louis Althusser atas praktik Ideological State Apparatus, ketika suatu ideologi dalam hal ini bisa dipadankan sebagai ideologi budaya bersifat menginterpelasi atau memanggil individu sebagai subjek konkret untuk mengikuti apa yang diinginkan oleh ideologi. bilamana diberlakukan dalam ruang lingkup negara terhadap penduduknya, teori subjektivasi yang dirumuskan Althusser masih terbilang samar sebab dapat menimbulkan kesan paradoksal terhadap ilmu pengetahuan sebagai kontra-ideologi. Humanisme borjuis sendiri tidak bekerja secara memanggil individu agar mengikutinya, melainkan dengan memanipulasi suatu keadaan agar individu yang belum memperoleh kesadaran lalai terhadap keharusan dirinya untuk terlibat dalam suatu persoalan sosial secara riil yang terjadi, misalnya dengan lebih terkonsentrasi pada tuntutan pemenuhan gaya hidup dan ambisi pribadi.

Jadi mengapa humanisme borjuis sulit untuk diidentifikasi?

Karena humanisme borjuis telah mengakar dalam tubuh pergaulan hidup manusia di seluruh dunia, sehingga sulit dibedakan dalam aktivitas kita sehari-hari, bahkan sejak seorang masih di dalam kandungan, kemudian lahir dan bertumbuh kembang menjadi manusia dewasa, barulah dapat dicermati watak individu tersebut yang telah terbentuk kecenderungannya terhadap suatu aliran humanisme. Hal demikian juga yang menyebabkan humanisme borjuis seolah telah mendarah daging, karena proses regenerasi manusia yang dibayangi nilai-nilai yang direka-ciptakan oleh sistem kapitalisme. Tak terkecuali seorang yang telah terbuka dalam hal bahan bacaan, terlebih lagi wacana-wacana kiri, dapat pula masih mengamalkan perilaku dari watak alias sifat batin dari aliran humanisme terkait secara sadar.

Jadi, sekali lagi humanisme borjuis ini bukan saja sekadar subjek dalam kajian-kajian literasi, namun merupakan suatu aliran humanisme yang perlu untuk dipahami terutama karena lebih banyak kemudaratan yang didapatkan daripada kemaslahatannya jika masih berlangsung dan menubuh dalam pergaulan hidup kita semua, melalui sikap dan perilaku yang jelas adalah pengejawantahan dari watak individu yang telah terkonstruk oleh aliran humanisme tersebut. Tabik!


Daftar Pustaka :

F, Budi Hardiman, 2012, Humanisme dan Sesudahnya, Jakarta : KPG.

Georg Lukacs, 1997, Realisme Sosialis, Jakarta : Gramedia Pustaka.

Bernard Murchland, 2019, Humanisme dan Kapitalisme, Yogyakarta : Basabasi.

Louis Althusser, 1970, Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara : IndoProgress.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bunga Rampas

Komidi Putar

Siran, Sekali Upaya Penghabisan

Sastra dan Korelasinya Terhadap Situasi Sosial