Mentalitas Yang Terkonstruk di Era Kapitalisme Digital

Secara tidak langsung kapitalisme digital dapat dikatakan sebagai tahap lanjut dari modus produksi kapitalisme modern yang paling aktual, yang rupanya saling memengaruhi dan menyesuaikan dengan minat manusia, terhadap budaya yang memiliki esensi universalitas turut berkembang seiring zaman. Kemudahan komunikasi dan penyebaran informasi secara cepat pada hari ini menjadi sumber komoditas yang paling mutakhir bagi kapitalisme, sementara manusia yang menjadi mangsa pasar produk-produk sarana digital seperti ponsel pintar dengan segala muatan di dalamnya, jika kita tidak bijak dalam menggunakannya samahalnya dapat di ibaratkan seperti menggenggam sebuah geranat, dimana kita sadar bahwa kapan saja mampu menimbulkan kerusakan terhadap diri kita jika tidak berhati-hati dan mawas diri. Sebagai sarana yang memudahkan, sekaligus kita mampu dilalaikan oleh akses yang serba instan dan tersediakan. Kapitalisme modern sebagai kontradiksi pokok sejak awal abad-19 memang tidak pernah gagal menciptakan peluang olehnya dan untuknya sendiri demi kesempatan mengeksploitasi apapun selagi mampu mendatangkan laba yang lebih dan lebih. Kapitalisme telah banyak dijelaskan secara rinci oleh para peneliti, teoritikus, dan orang-orang terlibat perjuangan klas memanifestasikannya menjadi karya ilmiah dari pengalamannya berhadapan langsung dengan kekuatan besar para pemodal, oleh sebab itu penulis tidak perlu lagi menjabarkan kapitalisme dari dasar sekali secara definitif, praktik maupun historis.

Sehubungan dengan pokok pembahasan, “apa yang dimaksud dengan mentalitas itu?” Mentalitas adalah suatu keadaan atau dapat pula diartikan sebagai aktivitas kejiwaan, perkara-perkara yang menyangkut dari dalam diri (inner) yang dapat berpengaruh terhadap tindak-tanduk seseorang. Menimbang struktur kepribadian yang diperkenalkan oleh Sigmund Freud, bahwa manusia memiliki tiga tingkat kesadaran yang dimana salah satunya menjadi faktor penentu perbuatan seseorang.

Setiap manusia merupakan bagian dari zamannya, dimana kapitalisme bukan saja menghisap apa yang diciptakan atas kepemilikan mesin industri, teknologi yang berkembang menciptakan mesin-mesin yang lebih minimalis dan efektif. Misalnya ponsel pintar yang nyaris semua dari kita miliki. Olehnya kita mungkin sedikit banyak terbantu terhadap perkara pekerjaan, sekaligus terhibur dengan adanya berbagai macam konten jika dalam keadaan senggang. Namun senyatanya kita mengalami ketergantungan terhadap gawai tersebut, sehingga dalam beraktivitas tak dapat lepas sama sekali darinya. Kita merasa kosong apabila lama tidak mengoperasikannya. Bahkan pula jika kita tidak memilikinya dalam suatu pergaulan, kita akan merasa terasing dan dianggap tidak mengikuti perkembangan. Pada zaman dimana ponsel pintar menjamur, dan dapat diperoleh dengan cukup mudah dengan harga lumayan terjangkau, oleh orang tua yang sadar akan kemudahan sarana informasi dan penghiburan, memberikan fasilitas tersebut kepada anak-anaknya yang masih balita, memfokuskan mata kecil mereka terhadap layar pijar yang jika berlebihan dalam pemakaian dapat merusak organ penglihatan. Tentu saja apa yang berlebihan dapat memberi akibat buruk bagi para penggunanya, dalam hal ini dapat disebut kita semua sebagai ‘konsumen’.

Ponsel pintar beserta segala konten yang ada di dalamnya telah menjadi budaya massa, terutama terkait konten—berbagai ragam aplikasi yang menyediakan informasi yang agak edukatif atau sekedar hiburan. Namun di sana letak permasalahannya, karena terlalu sering bergantung dengan ketersediaan oleh algoritma yang telah disesuaikan dengan apa yang kita minati, kita menjadi manusia yang candu terhadap sesuatu yang instan tersebut, alih-alih berusaha secara optimal untuk mendapatkan apa yang dikehendaki, segalanya menjadi seolah dipermudah.

Kapitalisme digital sedang bekerja di antara kita semua, di suatu era industri ketika masyarakat kapitalis telah beralih dari sebelumnya sebagai penghasil barang menjadi masyarakat penghasil informasi. Melalui teknologi mutakhir yang memfasilitasi produksi, distribusi hingga konsumsi yang kerap diidentikkan dengan revolusi industri 4.0—ketika data telah menjadi aset yang sangat penting. Data tersebut sejak mulanya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan silicon valley, yang mengisyaratkan bahwa kita bukanlah benar-benar konsumen yang sedia dilayani oleh industri budaya terkait. Bukan layaknya istilah ‘konsumen adalah raja’ yang sering dielu-elukan, akan tetapi kebanyakan dari kita menjadi objek industri kebudayaan itu sendiri.

Sebagai objek industri kebudayaan, manusia beserta segala akses terhadap informasi dan konten hiburan yang tersedia di dalam media sosial yang memudahkan penyebaran budaya massa yang dianggap ‘populer’. Budaya massa yang dilancarkan oleh kapitalisme digital pada saat ini samahalnya dengan yang pernah dimaksud oleh Adorno sebagai budaya indusri, dimana tujuan dari hal tersebut adalah untuk mengeksploitasi manusia demi akumulasi kapital (keuntungan).

Hal demikian sangat berpengaruh terhadap mentalitas kita dimana budaya popular tersebut berkembang, tak terelakan bahwa juga akan berpengaruh terhadap generasi mendatang. Bukan sekedar rasa ketergantungan terhadap perkara yang instan, melainkan mentalitas individu yang selama ini telah mengikuti kontrol oleh penguasaan data. Sehingga kemudian yang terjadi berupa konsumsi dan konsumsi produk-produk budaya populer yang di distribusikan kapitalisme. Oleh budaya populer yang didistribusikan kapitalisme digital, menciptakan sebuah keadaan dimana manusia saling bergantung namun dalam konotasi negatif, yakni dalam bentuk persaingan dan menafikan sikap kolaboratif atau kerja-kerja komunal. Para individu digiring dalam kesadaran palsu dimana dunia adalah pertarungan antar individu, misalnya dalam hal kecil adalah terkait gaya hidup: Jika terdapat seseorang yang merasa iri terhadap suatu benda yang dimiliki oleh seorang lain sehingga seseorang tersebut ingin benda yang lebih baik, lebih canggih jika benda tersebut berkaitan dengan peralatan elektronik. Menegasikan kesungguhan hidup bermasyarakat yang semestinya bekerja sama dalam hal apapun demi kemajuan ilmu pengetahuan. Olehnya, kapitalisme digital sekali lagi berhasil menciptakan kesenjangan antar manusia, melalui budaya populer dimana semua orang seolah harus mengikutinya. Jika tidak, maka individu akan terasing dari pergaulan, cara hidup yang berbeda meskipun baik dalam hal etik mampu menjadi suatu hal yang dianggap tidak lazim. Maka dapat terbilang bahwa daya bersaing kebanyakan individu pada hari ini pengaruh dari sistem sosial yang mengarahkannya terhadap perilaku yang demikian, mental individu terkonstruk untuk terus bertarung, namun bukan bertarung untuk mempertahankan hidup, melainkan sebagai seorang konsumen demi naiknya standar hidup yang diciptakan melalui budaya populer. Tabik!


Daftar Pustaka :

Tom Bottomore, 2020, Mazhab Frankfurt (Gagasan  dan Kritik), Yogyakarta : Penerbit Indipenden.

Christian Fuchs, 2022, Membaca Kembali Marx di Era Kapitalisme Digital, Yogyakarta : Penerbit Indipenden.

Phil Jones, 2022, Pekerja-Pekerja Hantu (Agenda Tersembunyi di Balik Kemegahan Platform Digital), Yogyakarta : Penerbit Litani.

B. Hari Juliawan, 2022, Prospek Demokrasi di Era Kapitalisme Digital : Majalah Basis.

Anthony Giddens, 2009, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Jakarta : UI-Press. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bunga Rampas

Komidi Putar

Siran, Sekali Upaya Penghabisan

Sastra dan Korelasinya Terhadap Situasi Sosial