Tanah, Hutan dan Kesenian : Sebuah Upaya Mengamati Barongan Blora Secara Wadak
“Kebudayaan adalah hasil keseluruhan dayaupaya manusia secara sadar memenuhi, setinggi-tingginya kebutuhan hidup lahir dan batin, senantiasa maju dan tiada putus-putusnya.” –Mukaddimah LEKRA 1950
Dalam upaya
menggali epistimologi tanah, banyak sumber yang dapat diperoleh, mulai dari
yang merujuk pada Ilmu Hukum, Geografi, Teologi bahkan sampai dengan perspektif
adat bercampur mitos yang tidak logis, yang kebanyakan memandang hubungan tanah
dan manusia layaknya ibu yang menghidupi anak-anaknya. Memahami konsepsi tanah
juga tidak sesederhana yang dapat dijelaskan sebagai media tumbuhnya tanaman
atau sebagai laboratorium kimia. Lebih dari itu, dapat ditegaskan bahwa tanah tidak
sekedar benda padat yang kerap dieksploitasi secara berlebih oleh klas penguasa
modal. Tanah merupakan salah satu bagian dari basis ekonomi dalam
perspektif Marx, berkaitan erat dengan konsep materialisme historis dan
dialektis Karl Marx. Menurut Marx, basis ekonomi (termasuk tanah) menentukan
struktur sosial dan ideologi (suprastruktur) dalam masyarakat. Tanah sebagai
sumber daya ekonomi utama memainkan peran penting dalam pembentukan klas
sosial, seperti klas borjuis (tuan tanah) dan klas proletar (buruh tani). Dalam
sejarah perkembangan masyarakat, dimulai pada tahap masayakat komunal primitif hingga
pada tahap masyarakat kapitalis pada hari ini, meskipun dengan berkembangnya
cara-cara produksi, tanah tetap memegang kunci pokok sebagai kekuatan
produktif.
Fokus utama dalam tulisan ini adalah tanah sebagai kekuatan
produktif, tentang bagaimana pengaruh kekuatan produktif tersebut menyumbang
konsep budaya dan produk seni sebagai turunannya, sebab budaya merupakan bagian
dari suprastruktur. Salah satu produk seni yang dapat jadi bahan pengamatan
adalah Barongan Blora, sebuah kesenian yang amat dekat dengan rakyat Blora,
dari bocah hingga dewasa, dari kaum bawah hingga elite penguasa daerah.
Sebagian besar rakyat Blora hidup di kawasan yang dekat
dengan hutan, kalau meminjam istilah Perhutani adalah mereka-mereka yang
disebut Masyarakat Kawasan Hutan. Ditambah dengan klaim pemerintah daerah bahwa
Jati adalah tanaman endemik Blora, maka sudah tentu produktivitas pengolahan
kayu hasil hutan ‘Jati’ sebagai penopang pendapatan daerah terbesar selain dari
minyak dan gas.
Belum ada bukti akurat kapan tepatnya kesenian ini bermula,
namun jelasnya Barongan Blora lahir dari masyarakat yang hidup dari hasil hutan
yang kemudian berkreasi merupa berbagai bentuk topeng-topengan dari kayu. Kreasi
yang paling sering dibuat adalah perwujudan harimau atau singa yang dinamai
dengan barongan, merujuk kepercayaan masyarakat Jawa tempo dulu pada umumnya
terhadap binatang berkaki empat sebagai simbol kewibawaan dan perlindungan. Sementara
itu, untuk membuat topeng-topengan tersebut bahan yang kerap digunakan seperti kayu
Dadap Cangkring, kayu Elo, atau kayu Kedondong, namun kayu Dadap Cangkring yang
paling sering digunakan berdasarkan kualitas karena lebih ulet dan tidak mudah
pecah. Dahulu pohon-pohon penghasil kayu tersebut tumbuh subur secara merata di
Blora, di sekitar tempat yang memiliki sumber air melimpah. Sebagai dataran
tinggi yang dialiri sungai bawah tanah sudah sepatutnya menjadi lokasi yang
tepat persebaran jenis-jenis pohon tersebut. Pada era sekarang untuk memperoleh
kayu-kayu dengan jenis tersebut cukup sulit, berbeda dengan dahulu sekali hutan
Blora sebelum didominasi dengan pohon Jati, atas kebijakan pemerintah
Hindia-Belanda untuk menggandakan tanaman tersebut berkali-kali lipat, suatu
kebijakan yang diteruskan oleh pemerintah Indonesia hingga hari ini, menjadikan
hutan Blora sebagai pabrik penghasil produk kayu Jati berdasarkan kebutuhan
pasar, secara tidak langsung menyingkirkan produktivitas tanaman lain dengan
anggapan tak memiliki nilai.
"Lantas mengapa barongan atau kreasi topeng-topengan lain di Blora tidak menggunakan kayu Jati sebagai bahan dasarnya?"
Barangkali pertanyaan tersebut mampu terjawab dengan satu dugaan, selain karena kayu Jati jika semakin tua usianya semakin keras dan berat, sehingga seseorang yang akan mengenakannya akan mengalami kesulitan hal tersebut dibuktikan dengan berkali-kali percobaan pembuatan. Pada akhir abad ke-19 timbul kebijakan oleh pemerintah Hindia-Belanda bahwa warga lokal yang tinggal di sekitar hutan dilarang mengambil kayu jati dengan tujuan apapun, meskipun tanaman tersebut tumbuh secara liar. Kebijakan tersebut membuat akses rakyat terhadap hutan menjadi sangat terbatas, sehingga penggunaan kayu dari pohon lain sebagai bahan dasar pembuatan barongan menjadi solusi, dan kebiasaan tersebut terbawa hingga saat ini.
Rakyat yang tinggal di sekitar hutan dipenuhi dengan tekanan, dipersulit untuk membuka lahan pertanian, dijauhkan dari kekuatan produktif yakni tanah sebagai penghidupan mereka, sehingga terpaksa bekerja untuk pemerintah Hindia-Belanda sebagai buruh penebang kayu. Pemerintahan daerah saat itu yang masih bercorak feodal tidak mampu berbuat banyak, justru semakin menjadi penambah penderitaan rakyat. Meskipun pemberontakan telah timbul di sana-sini di wilayah Blora terhadap pemerintah Hindia-Belanda, namun keluh kesah terhadap perilaku elite feodal hanya tersimpan di hati, kebanyakan rakyat terkungkung dengan ketakutan mereka sendiri oleh pengaruh mistis dan mitos yang meliputi kekuasaan para ningrat.
Gramsci menekankan pentingnya kesadaran kelas dalam memahami perjuangan atas tanah. Ia percaya bahwa hegemoni budaya memainkan peran besar dalam mempertahankan kekuasaan atas tanah dan sumber daya. Lahirnya kesenian Barongan Blora pada masa itu adalah respon terhadap budaya feodalisme kaum ningrat yang populer dengan penokohan raja dan kesatria di setiap lakon ceritanya, Barongan Blora secara organik memperoleh pakem yang terinspirasi dari kehidupan masyarakat di sekitar rimba belantara yang sudah tentu atas pengalaman hidup mereka sehari-hari serta dibumbui unsur mistis. Olehnya, sangat diasayangkan bahwa tari-tari kreasi dalam pementasan barongan pada hari ini jauh dari maksud tujuan asal usulnya dengan menambahkan watak-watak ksatria pada beberapa lakon seperti Joko Lodro dan Patih Pujonggo Anom/Bujang Ganong.
Melalui sedikit uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesenian Barongan Blora lahir dalam kemelut pergolakan, antara rakyat yang tinggal di sekitar hutan dengan pendudukan pemerintah Hindia-Belanda dan sistem feodal elite daerah. Pengalaman dan persinggungan rakyat terhadap lingkungan hidup mereka yang melahirkan sebuah karya seni realis dalam bentuk tari-tarian yang juga merujuk terhadap kekuatan produktif mereka yakni sumber daya tanah kawasan hutan.

Komentar
Posting Komentar