Pertautan Antara Papa dan Buendía
![]() |
| Photo : netflix.com |
Terlambat 100 tahun bagi saya untuk membaca Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel García Márquez. Setelah beberapa bulan tertunda akibat reading slump, saya akhirnya menamatkannya. Karya ini membawa saya pada perjalanan panjang keluarga Buendía, yang melintasi waktu dari keturunan ke keturunan, masing-masing terjebak dalam kesialan yang tampak seperti kutukan garis keturunan. Namun, saya tak ingin berlarut menjelaskan pengalaman saya menelaah karya Gabo yang fenomenal itu, yang kini telah diadaptasi ke dalam bentuk series sinema di platform berbayar kapitalis. Saya bukan pembaca yang mendalami setiap detail karya sastra; saya lebih suka mengikuti alur dan mengamati bagaimana karakter menjalani peran mereka. Namun, kisah Buendía, terutama sosok José Arcadio Buendía, membuka mata saya untuk memahami Papa — sosok yang kini telah tiada — dan kesunyian yang ia tanggung, yang kini saya rasakan pula.
Saya adalah orang biasa yang kadang ingin tampak berbeda, terutama dalam cara berpikir dan mengambil keputusan, sifat yang barangkali saya warisi dari Ibu dan Papa. Melalui refleksi ini, saya ingin mengurai pertautan antara Papa dan José Arcadio Buendía, serta bagaimana kesunyian yang mereka alami mencerminkan pengalaman keluarga kami.
Kepergian Papa dan Kesunyian yang Tersisa
Beberapa bulan lalu, Papa meninggal dunia di usia setengah abad setelah berjuang melawan stroke selama lima bulan. Gejala awalnya membingungkan keluarga, hingga akhirnya beliau dirawat di ruang intensif rumah sakit, tempat banyak pasien keluar sebagai jenazah. Pada momen terakhirnya, saya berada di sisinya, membacakan syahadat, shalawat dan doa-doa sebisanya, bukan demi keajaiban, tetapi untuk keselamatan Papa, di mana pun beliau berada. Meski ada peristiwa sebelum Papa dinyatakan kritis yang masih mengganjal di benak saya. Saya merasa telah menunaikan kewajiban: saya mengadzani Papa di liang kuburnya, sebagaimana Papa mengadzani saya saat lahir. Sebagai satu-satunya keturunan lelaki dari garis keluarga Papa, saya juga merenungkan tanggung jawab melanjutkan “trah” menurut tradisi Jawa.
Di rumah sakit, selama menjaga Papa bersama Ibu, saya membaca Seratus Tahun Kesunyian. Bukan sekadar bacaan, buku ini menjadi keharusan yang saya tuntaskan. Ketika selesai membacanya, jauh setelah kepergian Papa, kesunyian yang digambarkan dalam novel itu terasa semakin nyata. Tak hanya saya, Ibu juga menghadapi kesunyian setelah ditinggal ibunya tak lama kemudian. Keluarga kami seolah dilingkupi aura mistis dan sunyi, jarang disentuh keceriaan. Entah ini kutukan ala Buendía, namun kesunyian ini terasa seperti warisan yang tak terelakkan.
Papa dan José Arcadio Buendía: Keterasingan dalam Kesunyian
Papa, dalam banyak hal, mengingatkan saya pada José Arcadio Buendía, pendiri Macondo yang visioner namun terisolasi. Seperti Buendía yang terobsesi dengan penemuannya hingga menjauh dari keluarga, Papa sering tenggelam dalam kegiatan yang terasa jauh dari dinamika rumah tangga. Ia jarang terlibat dalam urusan keluarga, yang sebagian besar ditangani Ibu, mirip Ursula Iguarán yang menua dalam kesunyian. Papa, dengan sifat keras kepalanya, tampak seperti berjuang menghadapi dunia yang semakin tak terjangkau baginya, namun tak tahu cara menunjukkan kehadirannya bagi kami.
Saya mulai memahami bahwa kesunyian Papa bukan sekadar ketidakhadiran, melainkan perjuangan batin yang tersembunyi. Seperti Buendía yang menyembunyikan kerapuhannya di balik ambisi, Papa menutupi kesepiannya dengan sikap tertutup dan keras. Ia takut tak mampu mendampingi anak-anaknya menghadapi dunia, takut kami tak membutuhkannya. Saya menyesal, karena baru setelah kepergiannya saya menyadari betapa sering saya salah paham — menganggapnya tak peduli, padahal ia berusaha dengan caranya sendiri.
Warisan Kesunyian dan Harapan Memutus Lingkaran
Kini, saya, Ibu, dan kakak perempuan saya menghadapi kesunyian masing-masing. Papa meninggalkan kenangan sebagai tembok kokoh yang melindungi keluarga, meski terkadang ia terasa sebagai sosok tak diinginkan, terutama saat kami beranjak dewasa. Sifat keras kepalanya, yang barangkali mengalir dalam DNA saya, adalah warisan yang saya coba ingkari. Namun, seperti keluarga Buendía yang mengulang nama dan kesalahan, saya bertanya: akankah saya memperpanjang lingkaran kesunyian ini, atau memutusnya?
Melalui Seratus Tahun Kesunyian, saya belajar melihat Papa bukan hanya sebagai sosok yang pernah kerap membuat saya marah, tetapi sebagai manusia yang menanggung beban sunyi. Barangkali ia merasa tak diinginkan — oleh keluarga, dunia, bahkan dirinya sendiri. Kini, berdiri di tengah garis keturunan yang panjang, saya ingin mengubah kesunyian ini bukan sebagai kutukan, melainkan ruang refleksi. Dari sanalah, saya berharap bisa menulis sejarah yang berbeda.

Komentar
Posting Komentar