Pramoedya di Antara Kapital Simbolik dan Komidifikasi Budaya
![]() |
| Photo by me |
Beberapa waktu lalu, saya tertarik pada sebuah buku yang dipromosikan di akun media sosial salah satu toko buku indie di Yogyakarta. Bertajuk Babad Blora & Tiga Cerita Legenda. Saya cukup terkesan, karena jarang menemukan karya berlatar daerah kelahiran saya , Blora, sebuah kabupaten di ujung timur Jawa Tengah. Dari postingan itu, saya langsung mengenali nama penyusunnya: Koesalah Toer dan Soesilo Toer. Tanpa perlu membaca caption secara saksama, saya sudah yakin buku itu diterbitkan oleh Pataba Press, usaha penerbitan milik Soesilo Toer, penulis sekaligus anak bungsu keluarga Pak Mastoer.
Tajuk tersebut yang menyematkan istilah “Babad Blora” masih menjadi ketertarikan bagi saya yang cukup doyan sejarah Blora. Ketertarikan itu mendorong saya untuk segera memiliki bukunya. Meski mudah ditemukan di berbagai toko online, karena tak sabar, saya akhirnya membelinya langsung di toko buku terdekat beberapa hari kemudian.
Begitu buku itu ada di tangan saya, saya langsung memperhatikan ciri khas terbitan Pataba Press: nyaris selalu menyematkan nama Pramoedya Ananta Toer, selain nama itu bagian akronim dari Pataba, juga seakan menjadi nyawa bagi setiap karya terbitannya. Tanpa nama Pramoedya, Pataba Press kehilangan sentuhan “legacy” Pram, bagaikan banteng tanpa tanduk atau harimau tanpa taring. Di sampul buku ini, tertulis jelas “Komentar: Pramoedya Ananta Toer” dengan font yang lebih besar, membuatnya lebih menonjol daripada nama penyusun di atasnya.
Sesungguhnya, dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas isi karya ini, melainkan lebih pada penyematan nama Pram yang saya rasa agak berlebihan. Awalnya, saya cukup penasaran dengan komentar Pram tentang karya ini, apalagi buku ini adalah rilisan baru. Pertanyaan yang muncul di benak saya adalah, “Apakah masih banyak tulisan Pram yang belum dipublikasikan?” Saya cukup terkesan dengan Pataba Press jika mereka masih memiliki arsip berisi sudut pandang Pram, sampai akhirnya saya mengetahui kenyataan yang berbeda dalam buku ini.
![]() |
| Photo by me |
Ya, faktanya, komentar Pram hanya sekelumit saja — hanya empat baris kalimat, yang menurut saya tak memiliki arti signifikan. Jadi, entah apa maksud menyematkan nama Pram secara begitu kentara. Apakah semata untuk menjadikannya daya tarik utama agar para pengagum Pram tergoda membeli buku ini? Sikap semacam ini terasa berlebihan: menjadikan nama besar seseorang sebagai alat pemikat, seolah keberadaan nama itu saja cukup untuk membangkitkan rasa ingin memiliki, tanpa mempertimbangkan relevansinya terhadap isi.
Apa yang saya alami ini bukan sekadar keganjalan pribadi dalam hati, melainkan saya anggap sebagai bagian dari sebuah fenomena yang lebih luas. Saya melihatnya sebagai gejala menarik dalam praktik penerbitan Pataba Press, khususnya bagaimana mereka mengemas dan memasarkan buku-bukunya. Fenomena ini menggugah saya untuk melakukan refleksi yang lebih dalam , bukan hanya dari sisi pribadi, melainkan juga dari sudut pandang sosial dan budaya. Untuk memahami kecenderungan ini, saya mencoba meninjaunya dengan merujuk pada gagasan dari dua pemikir yang relevan. Pertama, pemikiran Pierre Bourdieu tentang kapital simbolik, yang menunjukkan bagaimana nilai-nilai simbolik dalam dunia intelektual bisa berfungsi layaknya aset yang diperjualbelikan. Kedua, kritik Adorno dan Horkheimer mengenai komodifikasi budaya, yang menyoroti kecenderungan kapitalisme dalam mengubah produk-produk budaya termasuk yang bersifat historis atau intelektual , menjadi komoditas pasar. Kedua teori ini akan membantu menjelaskan mengapa nama besar seperti Pramoedya Ananta Toer bisa disematkan dalam buku ini, meskipun kontribusinya terhadap karya tersebut sangat terbatas.
Dalam pemahaman Bourdieu, penyematan nama Pramoedya pada sampul buku ini bisa dipandang sebagai bentuk kapital simbolik yang memberikan nilai simbolik lebih terhadap buku tersebut. Nama Pramoedya, yang telah menjadi simbol besar dalam dunia sastra dan intelektual Indonesia, membawa serta prestise yang tinggi, yang dapat meningkatkan daya tarik dan legitimasi buku ini di mata pembaca. Nama besar Pramoedya dengan sendirinya memberikan semacam jaminan bahwa buku ini memiliki nilai intelektual atau budaya yang lebih tinggi, meskipun isi buku itu sendiri mungkin tidak mencerminkan hal tersebut secara mendalam. Dalam konteks ini, Pataba Press memanfaatkan nama Pramoedya sebagai kapital simbolik untuk menambah nilai komersial buku tersebut, meskipun tidak ada kontribusi substantif dari Pramoedya terhadap karya yang ada di dalamnya.
Namun, jika kita melihat fenomena ini dari perspektif komodifikasi budaya yang diajukan oleh Adorno dan Horkheimer, kita bisa memahami bagaimana buku ini dan nama Pramoedya telah dijadikan komoditas untuk meraih keuntungan. Dalam dunia industri budaya kapitalistik, karya historiografi atau karya sejarah sering kali diperlakukan lebih sebagai barang dagangan yang dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan, daripada sebagai produk budaya yang berfokus pada nilai intelektual atau estetika. Nama Pramoedya, yang seharusnya dihargai sebagai kontribusi budaya yang mendalam, kini digunakan lebih sebagai alat pemasaran untuk meningkatkan daya tarik buku. Dalam konteks ini, karya yang semestinya dihargai atas substansi dan pemikiran di dalamnya, kini lebih dilihat sebagai produk komersial yang bergantung pada nilai simbolik dari nama besar tersebut.
Fenomena ini, meskipun tampak sepele, mengungkapkan strategi Pataba Press dalam memperdagangkan terbitannya dengan memanfaatkan kapital simbolik yang dimiliki oleh Pramoedya Ananta Toer. Dengan begitu, nama Pramoedya yang besar seolah menjadi lebih penting daripada isi karya itu sendiri, dan penerbitan tersebut lebih berfokus pada nilai komersial yang bisa diperoleh melalui penggunaan nama besar tersebut. Ini adalah contoh jelas dari komodifikasi budaya, di mana simbol-simbol budaya yang besar digunakan untuk menarik perhatian pasar dan meraih keuntungan ekonomi, tanpa memperhatikan kedalaman intelektual atau artistik dari karya itu sendiri.
Dengan demikian, fenomena penyematan nama Pramoedya pada buku ini menggarisbawahi bagaimana Pataba, sebagai penerbit, lebih mengutamakan aspek komersial dibandingkan dengan kualitas atau substansi buku itu sendiri. Nama besar seperti Pramoedya Ananta Toer, yang seharusnya menjadi simbol pemikiran dan perjuangan budaya, kini digunakan sebagai alat untuk meraih keuntungan pasar. Pataba, dalam hal ini, telah memanfaatkan warisan budaya dan kapital simbolik Pramoedya untuk memperkuat daya tarik buku, meskipun kontribusi nyata dari Pramoedya terhadap isi karya tersebut sangat terbatas. Fenomena ini mencerminkan bagaimana strategi penerbitan Pataba Press semakin terdistorsi oleh kepentingan komersial.
Entah apakah ini semata siasat Pataba Press agar tetap eksis dan relevan di tengah pasar yang semakin kompetitif, namun penggunaan nama besar Pramoedya Ananta Toer secara strategis dan berulang memang patut dicermati. Praktik ini menunjukkan bagaimana kapital simbolik bisa dikelola layaknya komoditas yang dipelihara, ditonjolkan, bahkan dijual demi menopang keberlangsungan penerbit. Di satu sisi, ini mungkin mencerminkan kebutuhan Pataba Press untuk menjaga identitas dan posisi historisnya sebagai pewaris warisan intelektual Pram. Namun di sisi lain, tindakan semacam ini juga menimbulkan pertanyaan etis tentang batas antara penghormatan terhadap warisan dan eksploitasi simbolik atas nama besar yang sudah mapan. Maka kritik ini bukan hanya ditujukan untuk menyoal satu penerbit, tetapi untuk membuka ruang diskusi lebih luas tentang bagaimana dunia penerbitan seharusnya menyeimbangkan antara strategi pasar dan integritas intelektual.


Komentar
Posting Komentar