The Power of Pop Culture

Beberapa waktu lalu terjadi peristiwa di Indonesia yang dapat diklasifikasikan sebagai fenomena sosial, ketika banyak individu secara masif, terutama kawula muda, melakukan aksi pengibaran bendera dengan berbagai simbol yang diadaptasi dari salah satu tayangan anime Jepang yang bertema tentang dunia bajak laut berjudul One Piece. Fenomena ini bukan sekedar urusan selera hiburan, tetapi juga gambaran dari bagaimana simbol budaya populer mampu menjadi bahasa protes yang mudah dipahami lintas generasi. Di dalam anime tersebut terdapat istilah Jolly Roger yang merujuk sebutan terhadap bendera yang dikibarkan oleh kapal bajak laut.

Pengibaran bendera ini ditengarai sebagai ekspresi kekecewaan terhadap jalannya sistem pemerintahan. Korupsi yang masih meluas, praktik jual beli jabatan, ketimpangan ekonomi, minimnya lapangan kerja, hingga perampasan ruang hidup dan kerusakan lingkungan menjadi latar yang mendorong simbol fiksi tersebut tampil di ruang publik. Meski sejak lama banyak penggemar One Piece memasang Jolly Roger di ruang pribadi, kali ini berbeda karena dilakukan serentak dengan semacam kesepahaman kolektif.

Apa yang seharusnya dilihat sebagai tindakan legal dalam kerangka demokrasi justru dipandang sebagian pejabat sebagai ancaman. Narasi negatif digiring dengan menyebut aksi ini berpotensi makar atau merendahkan martabat bangsa. Beberapa inisiator bahkan didatangi aparat, menandakan bahwa simbol populer itu telah dianggap serius oleh negara. Meskipun Presiden Prabowo menyatakan aksi tersebut sebagai bentuk kebebasan berekspresi, di sejumlah daerah aparat tetap melakukan tindakan represif, mulai dari penyitaan bendera hingga perintah menghapus mural.

Fenomena ini dapat dibaca sebagai perwujudan The Power of Pop Culture. Produk budaya yang digemari masyarakat kerap membentuk cara berpikir dan bersikap, lebih efektif ketimbang slogan politik formal. Sejarah menunjukkan bahwa karya populer sering menjadi pemicu solidaritas dan perlawanan. Bukan pertama kalinya budaya populer menunjukkan diri sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan.

Budaya punk rock di pertengahan 1970-an menjadi salah satu contoh paling jelas. Berakar di Amerika Serikat dan Britania Raya, punk rock tidak hanya menawarkan musik baru, tetapi juga menyebarkan ide-ide perlawanan. Band-band seperti Ramones, Sex Pistols, dan The Clash memicu ledakan subkultur yang memengaruhi fashion sekaligus ideologi, khususnya anarkisme. Dari sana, punk berekspansi ke seluruh dunia dan menjelma alat komunikasi politik. Musik yang berakar di hati masyarakat dapat menjadi sarana protes tanpa memerlukan orasi panjang.

Contoh lain adalah lagu Bella Ciao, lagu rakyat Italia yang dikaitkan dengan perlawanan partisan terhadap fasisme. Lagu ini kembali populer setelah ditampilkan dalam serial Money Heist (La casa de papel), lalu dipakai di berbagai negara sebagai anthem demonstrasi. Kesederhanaannya membuat Bella Ciao mudah diterima sebagai simbol perlawanan global, mengingatkan bahwa budaya populer dapat melampaui konteks asalnya untuk menjadi senjata simbolik.

Dari Jolly Roger, punk rock, hingga Bella Ciao, tampak pola yang sama: budaya populer menyusup ke keseharian, membentuk imajinasi kolektif, lalu suatu saat muncul sebagai bahasa bersama untuk menyatakan “kami tidak setuju.” Inilah kekuatan budaya populer, bekerja diam-diam namun efektif, menggerakkan massa dengan simbol yang terasa akrab.

Pertanyaannya kini, apakah kita masih akan memandang budaya populer semata sebagai hiburan, atau mulai mengakuinya sebagai kekuatan sosial yang mampu mempengaruhi arah kebijakan? Pengalaman yang baru-baru ini terjadi di Pati, Jawa Tengah, misalnya, menunjukkan bagaimana Jolly Roger dipakai sebagai simbol protes terhadap kebijakan pemimpin daerah. Fenomena itu menegaskan bahwa budaya populer, yang sering diremehkan, justru berpotensi menjadi sarana perlawanan politik yang tak bisa diabaikan. Hal ini menegaskan bahwa budaya populer bukan tren sesaat, melainkan medium resistensi yang terus berulang dalam berbagai konteks sejarah, selalu menemukan cara baru untuk berbicara atas nama rakyat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bunga Rampas

Komidi Putar

Siran, Sekali Upaya Penghabisan

Sastra dan Korelasinya Terhadap Situasi Sosial