Bukan Sebuah Katastrofe

Kaleng-kaleng bir berserak di kolong meja persegi panjang, sementera Sanu duduk diam di hadapnya ketika pekat malam membarengi lamunan. Terdengar saling sahut suara nyalak anjing tak bertuan. Sebuah malam yang brutal, tanpa ketenangan, dan dunia direka cipta sangat dekat dengan ambang penghabisan. Di sisi kanan ruangnya berada, berdempet langsung dengan bilik tetangga, semalam suntuk ketika akhir dari satu pekan, didengarnya suara orang bersenggama. Kadang dari sana kerap kali terdengar suara rengekan bocah kecil yang belum cakap berbicara. Musik mengalun perlahan, Jeff Buckley menyanyikan lagu dengan vokal yang lirih di penyuara telinga yang dipasangnya rapat-rapat, mungkin dengan maksud menyumbat telinga agar tak terdengar hal-hal dari luar, kebrutalan malam itu. Satu kaleng bir terakhir yang telah terbuka diraihnya dan tersisa sekali tegukan saja, kemudian Sanu melemparkan kaleng kosong itu ke luar jendela, di udara terbuka membentur dinding rumah tetangga.

Kebrutalan yang dihadapi Sanu saban malam, oleh berbagai macam jenis suara, dari binatang hingga manusia. Meski Sanu telah berusaha menghalangi apa yang didengarnya dengan buaian musik, dari Rock Alternatif hingga Grunge. Meskipun tak cukup membantu, setidaknya kebrutalan malam diselingi dengan nuansa dari irama yang epik ;

“dan bergairahlah dunia yang hidup.” Ujarnya.

Akan lebih baik jika turun hujan, hanya itu yang diharap Sanu, tatkala segala suara direduksi oleh bunyi-bunyian yang dihasilkan air yang berterjangan pada tanah, kayu-kayu, pepohoan, atap rumah, dan apa-apa saja selagi Sanu tak cakap mendengar imbas dari brutalnya malam. Namun langit tampaknya cerah, Tuhan memberi nasib dengan keadaan itu. Sanu dapat bertahan semalam suntuk hingga tiba fajar, dan lamunan panjang berakhir ketika Sanu  tertidur menunduk di atas buku-buku yang tak dibacanya. Keadaan seperti itu terus berulang setiap malam, kecuali suara orang bersenggama yang hanya terdengar di malam-malam tertentu saja.

Sanu saat itu berusia 25 (dua puluh lima) tahun, lelaki muda dengan proporsi tubuh yang tidak gemuk, tidak juga kurus. Perawakannya tidak tinggi, mungkin cenderung pendek di pergaulannya. Sanu berambut ikal yang di beberapa sisi olehnya dicat dengan warna pirang,  

Waktu berlangsung singkat, tepat pukul 10 (sepuluh) Sanu terbangun dengan biasa dirasakan olehnya pening di kepala. Segera dirinya mencuci muka dan bergegas pergi dari rumah tanpa berganti pakaian. Tujuan pertamanya adalah memperoleh makanan sebagai pengisi perut setelah semalaman hanya mencerna alkohol dari berkaleng-kaleng bir. Tak perlu waktu lama, dengan menaiki angkutan kota, Sanu tiba di tempatnya berlangganan. Sebuah bar milik seorang yang dikenalnya cukup lama. Bar itu bernama Lucius, dengan embel-embel nama salah satu petinggi bangsa Romawi, pada saat itu cukup lenggang mengingat belum memasuki waktu makan siang. Sebuah bangunan biasa yang memiliki 2 (dua) pasang jendela di depan, sedang hanya ada satu pintu masuk di posisi tengah antara masing-masing pasang jendela. Pintu bar selalu ditutup, sebagai penanda bar buka atau tidak dipasang plang kecil di sisi bagian dalam kaca jendela. Dulu tatkala bar periode awal baru dibuka sebenarnya pintu masuk utama tidak menggunakan daun pintu persegi panjang seperti pada umumnya, melainkan menggunakan pintu ayun yang meniru konsep negara-negara barat. Namun karena ada protes dari warga sekitar terkait ketertiban dan secara terbuka menjual minuman beralkohol, akhirnya si pemilik memutuskan mengganti pintu ayun dengan pintu persegi panjang.

Sanu hendak memasuki bar dengan membuka pintu sekenanya yang menghasilkan suara berdecit yang cukup mengganggu pendengaran. Tidak perlu lonceng kecil untuk diletakkan di atas daun pintu bilamana pelanggan datang, suara decit akibat kurangnya minyak pelumas pada engsel itu telah menjadi isyarat. Kadang fokus pelanggan dapat teralihkan dari perbincangannya dengan rekan atau dari hidangan yang disajikan jika mendengarnya. Sementara itu, Sanu langsung melesak menuju counter, segera memesan sepotong paha ayam dan satu porsi nasi putih beserta dua kaleng bir produk lokal, dibayarnya di muka.

Sembari menunggu pesanannya disuguhkan, Sanu membakar sebatang rokok yang diperoleh sebelumnya dari pedagang asongan selama perjalanan. Di dalam bar hanya terdapat 2 (dua) ruangan, yakni dapur dan ruangan untuk pelanggan yang disekat dengan dinding beton tepat di belakang counter beserta kursi-kursinya yang tinggi. Seluruh dinding bar didominasi dengan warna hitam arang tak terkecuali ruang pelanggan dan dapur. Di dalam bar banyak dihiasi barang-barang antik, seperti lembar arsip koran terbitan lama yang dibingkai, enamel-enamel merek jaman dulu, ada pula reklame iklan obat kuat keluaran tahun 40an (empat puluh-an). Ada beberapa pelanggan lain di dalam, dua orang lelaki duduk bersebelahan yang sepertinya lebih tua dari usia Sanu, keduanya masing-masing berperawakan berbeda ; seorang berjanggut lebat, serta seorang lain memiliki wajah bersih berseri. Ada pula pasangan muda-mudi tepat di sudut ruang bagian kanan dari dalam tepat di belakang jendela. Mereka berdua hanya memesan minuman dan makanan ringan, sebotol wiski untuk masing-masing keduanya disediakan rocks glass.

“Waktu masih terlalu dini untuk mabuk.” Tutur Sanu dalam benaknya.

Setelah menunggu tak kurangnya 15 (lima belas) menit, Waiters datang membawa pesanan Sanu, meskipun ia tak segera menyantapnya, melainkan meneguk bir terlebih dahulu setengah dari isi kaleng. Lantas kemudian dilahapnya hidangan itu meski masih sedikit mengeluarkan asap, seolah Sanu tengah memakan segumpal batuan lahar gunung berapi di mulutnya, sehingga ekspresi wajahnya menjadi aneh akibat hidangan yang masih panas. Hal demikian menjadi bahan tertawaan seseorang, Sanu tidak mengetahui kapan datangnya, seseorang itu sudah berdiri di dekatnya dan membuat Sanu terkejut.

Seorang perempuan, si pemilik bar sekaligus seorang yang cukup dikenal oleh Sanu. Masih tertawa lantara ekspresi wajah Sanu,

“Jeleknya mukamu, ha ha ha…” Ejeknya kepada Sanu dengan masih diselingi tawa.

Bibir Sanu terkatub mendengar ejekan itu, ditelanlah makanan di dalam liang mulutnya, dan ekspresinya berubah sengit.

“Sejak bila kau di situ?” Tanya Sanu.

“Sejak wajahmu jelek.” Sahut si perempuan masih dengan ejekan.

“Ah kau ini.” Tegur Sanu.

Naomi namanya, dikenal Sanu bahkan sebelum Naomi membuka bar dimana Sanu menjadi salah satu pelanggan utamanya. Menurut Sanu, Naomi tidak terlalu pandai berbisnis, hal demikian dibuktikan dengan bar adalah usaha kesekian kali setelah keduanya memutuskan menetap di kota yang sama. Mulanya Naomi membuka sebuah butik, yang tak lama setelahnya bangkrut karena imbas dari obsesinya menjadi perancang busana meski dirinya sendiri tidak cakap merancang dan tidak pernah sama sekali mengambil disiplin ilmu dibidang berkaitan. Adapun di suatu kesempatan Naomi mencoba berbisnis buah-buahan, yang kemudian rugi besar karena terlalu banyak mengkulak dan busuk dibiarkannya, namun ia tetap keras kepala mempertahankan asumsinya kepada pembeli bahwa buahnya masih segar, sebelum Naomi benar-benar mencoba memakannya sendiri yang berakibat dirinya sakit diare selama 3 (tiga) hari. Dan masih banyak lagi bisnis yang pernah dilakoninya sebelum memutuskan membuka sebuah bar.

Jam dinding menunjukkan waktu telah mencapai tengah hari, kala matahari tepat berada di titik kulminasi. Sanu tak terlalu lama menyelesaikan hidangannya, kemudian berbincang dengan Naomi, seraya meneguk sekaleng bir yang digengamnya. Naomi bukan seorang peminum alkohol, begitulah orang mengetahuinya. Meski Naomi menjalani bisnis bar, tidak lantas membuatnya menjadi peminum, bahkan sejak Sanu pertama kali mengenalnya tak pernah sekalipun Sanu melihat Naomi meminum alkohol. Pada suatu kesempatan, Sanu pernah menanyakannya yang sesungguhnya bercampur dengan perasaan segan, namun Naomi tidak pernah menjawab pertanyaan dengan serius, begitulah juga orang mengenalnya.

Memasuki waktu makan siang bar menjadi ramai, para karyawan perusahaan, mahasiswa, dari tua hingga muda mengantri di depan counter untuk memesan. Menyaksikan keadaan itu Sanu mulai beranjak dari tempat duduknya.

“Mau ke mana kau?” Tanya Naomi.

“Menurutmu?” Singkat Sanu.

“Kau tak mengajakku?” Tanya kembali Naomi, sekaligus pintanya.

“Memangnya kau tahu aku akan ke mana?” Tegas Sanu, “Lagi pula aku tidak hendak datang ke tempat yang menarik, bantulah para pekerjamu itu agar tak semakin borjuis sifatmu.” Tambahnya dengan nada ketus.

Disambutnya segera penolakan itu oleh Naomi ; “Baiklah,”

“Aku juga tidak bersungguh-sungguh.” Kata Naomi.

Sanu tak lagi menanggapinya dan bergegas keluar dari bar, entah ke mana sekarang tujuan yang dirinya kehendaki seorang. Sanu terbiasa demikian, Sanu tak terbiasa menghadapi ocehan orang bila itu tak perlu. Basa-basi bukan kebiasaanya meski kadang orang menganggapnya lucu jika sudah bergurau. Sanu bukan seorang yang sering meminta pertolongan kepada orang lain, ia cenderung nyaman melakukan sesuatu sendiri, meskipun terkadang menurutnya berat, tak menafikan keyakinannya bahwa sejak mula dirinya sebagai manusia yang dilahirkan dari rahim seorang diri, bilamana menghadapi tantangan hingga persoalan dalam senyata-nyatanya hidup, maka manusia harus mampu menghadapinya seorang diri pula. Bukan bermaksud angkuh, memang demikianlah sesungguhnya, di zaman yang terus berkembang, kualitas kepercayaan terhadap orang lain justru menurun.

Di perjalanan Sanu sengaja melewari pusat kota yang ramai, berjalan kaki dengan santai, seraya menyematkan sebatang rokok yang menyala di salah satu sela jari tangan kanannya. Dihisapnya bara api dan berhembus napas yang semakin dangkal. Matahari sedikit bergeser dari titik puncaknya di atas kepala, lambat-laun udara meringsak diri-diri tanpa teduh, panas dan membakar mata jika menatapnya. Manusia-manusia malang di terotoar jalanan, disaksikan Sanu, seorang pengemis tua memangku tangan memohon pengasihan dari manusia lain yang dirasa cukup beruntung rezekinya. Sementara grup pengamen jalanan mengiringi langkah kaki Sanu dengan langgam-langgam lama, beberapa pejalan kaki lain dibuatnya berhenti untuk menyaksikan penghiburan yang dapat diperoleh secara percuma itu. Membuat alunan langgam yang seharusnya nyaring didengar telinga, seolah menjadi alunan nada tanpa jiwa, menjadi irama yang mekanis dan datar, sebab maksud hati para pengamen mengharap adanya seorang yang memberikan pundi-pundi penghasilan terhadap mereka, justru menyaksikan dengan diam tanpa memberikan apa-apa kecuali tepuk tangan dan pujian, bahwa keduanya sungguh tidak berguna dan tidak dapat digunakan untuk mengisi perut yang kosong.

Demikan pula yang melatarbelakangi Sanu memiliki sifat seperti sekarang, ketidakpercayaannya terhadap manusia secara fundamenal. Kehidupan sosial adalah tragedi menurutnya, sebuah alegori bahkan tidak dapat menjelaskannya, lebih dari sekedar aforisme. Tragedi yang tragis telah dimulai ketika kita memiliki kesadaran sebagai insan, seorang manusia dituntut untuk menyesuaikan diri, tidak bisa tidak manusia harus menunduk terhadap apa-apa saja yang telah menjadi lazim. Sanu memahami hal itu, manusia pada umumnya melakukan sesuatu berdasarkan keuntungan atau apapun yang menjadi laba untuk mereka. Kehidupan sekarang ini tak lebih dari segalahal yang dapat dengan mudah dikomoditaskan, tak terkecuali relasi sosial. Sungguh kapitalisme telah berhasil mencipatakan keadaan seperti demikian, bahkan Sanu merupakan hasil rekaan dari budaya masyarakatnya yang telah terhegemoni. Meskipun beberapa manusia merasa bebas menentukan pilihan, namun pilihan tersebut juga diciptakan dengan unsur kesengajaan yang telah berlaku runut.

Menjelang sore hari, setelah Sanu berjalan kaki cukup lama dan terbilang jauh, setelah dirinya beberapa kali berpindah dari satu angkutan kota, ke angkutan kota lain. Tiba di depan tempat yang telah ditujunya, sebuah bangunan yang tampak tidak berpenghuni. Pagar besi yang sudah berkarat, tembok yang kusam dan beberapa titik telah menjadi lembab dan ditumbuhi lumut. Gerbang masuk didapati Sanu digembok kuat dengan rantai, diakalinya dengan memanjat di sisi pagar yang secara konstruksi lebih landai. Rerumputan gajah berbiak liar di halaman, mungkin pula terdapat sekawanan hewan melata hidup di dalamnya, Sanu bergidik ngeri dibuatnya. Ia melangkah di antara rerumputan itu, seakan tak seorang pun pernah melintasinya. Beberapa tahun lalu, Sanu pernah hidup di sana, sebuah tempat bernaung bagi dirinya dan banyak orang yang dianggapnya sudah menjadi keluarga, sebelum datang seorang penghianat.

Waktu berlalu dengan cepat, kemudian malam datang bersama sekawannan pernak-pernik menghiasi langit, ribuan bintang dan bulan yang nyaris purnama. Sesaat Sanu keluar dari rumah itu, seketika muncul orang asing yang menghampirinya.

“Ada kepentingan apa, Dik?” Tanya si orang asing kepada Sanu.

“Tidak ada apa-apa Pak.” Jawab Sanu dengan tegas, yang telah ia sangkal perihal urusan apa seorang asing menyodorkan pertanyaan terhadapnya.

“Apakah kamu kenal dengan pemilik rumah itu?” Kembali pertanyaan diajukan kepada Sanu dengan perangai yang seolah intimidatif oleh si orang asing.

“Tidak Pak.” Singkat Sanu sembarai membalikkan badan bermaksud pergi tanpa permisi. Namun orang asing itu tampaknya tidak menyenangi gelagat Sanu, kemudian ditariknya pakaian Sanu dari belakang, sehingga membuat Sanu naik pitam.

“Ada masalah apa anda dengan saya!?” Seru Sanu dengan lantam.

Mendengar Seruan itu si orang asing menyeringai, yang membuat Sanu merasa dalam situasi yang aneh, Sanu tidak takut, melainkan heran dibuatnya. Sebelum Sanu memahami situasi, sekonyong-konyong merasa ada yang memukulnya  di bagian belakang kepala dengan benda tumpul, membuatnya tidak sadarkan diri.

Di suatu pagi Sanu tersadar di rumah sakit, jarum infus menusuk di pembuluh darahnya, kepalanya dirasa teramat sakit. Suara perempuan memanggil namanya bermaksud memeriksa apakah Sanu sudah sadar, yang kemudian diketahui oleh Sanu ialah Naomi yang tepat berada di sisinya. Sanu tidak mengingat apa yang terjadi dengannya, Naomi bertanya apa yang terjadi, namun yang diingatnya hanya si orang asing yang menyodorkan pertanyaan dan seorang lain memukulnya dari belakang. Di ketahui pula oleh Sanu kejadian tersebut sudah terjadi satu minggu yang lalu setelah Naomi mengatakan hari dan tanggal di keadaannya yang sekarang.

“Salah seorang karyawanku menemukanmu di trotoar samping bar.” Kata Naomi,

“Kau udah gak sadarkan diri waktu itu.” Tambahnya.

Sanu terdiam dan masih mencoba mengingat apa yang terjadi dengannya, sementara seorang dokter datang untuk memeriksa keadaannya, bersetelan putih seperti lazimnya petugas kesehatan, mengenakan kacamata berlensa tebal, si dokter menyoroti mata Sanu dengan senter yang menyilaukan, memeriksa detak jantungnya dengan stetoskop, dan lain-lain seperti pada adegan di film bioskop atau drama televisi. Di keesokan hari Sanu sudah diperbolehkan pulang, dan Sanu masih belum mengingat dengan betul apa yang terjadi pada dirinya kala itu, usai dipukul oleh seorang tak diketahui barang rupa dan perawakannya tepat di bagian belakang kepala. Jadi, apa yang terjadi dengan Sanu usai terjadinya peristiwa itu?

Dengan siasat sang waktu tanpa kompromi senantiasa berbala dengan kebrutalan nasib, kemalangan yang terus berbiak tak sudah-sudah. Pada hari depan Sanu berharap hal-hal baik kan berkunjung tanpa segan, tanpa lekas berpamitan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bunga Rampas

Komidi Putar

Siran, Sekali Upaya Penghabisan

Sastra dan Korelasinya Terhadap Situasi Sosial