Aku, Bapakku dan Situasi Irasional

 

Sore di bulan Maret, aku memperoleh kabar dari bapak, bahwa situasi di kampung sedang kacau. Menjelang pemilihan kepala desa memang demikian khasnya, demi mempertahankan masing-masing calon seseorang rela melakukan apa saja. Sementara aku menjadi perantau, aku tidak di sana, namun aku cukup paham apa yang dikhawatirkan bapak. Di kampung C, tanah airku, orang-orang hidup guyub sembari mengemban budaya kekeluargaan dalam hubungan sosial masyarakat, jika saja dihadapkan dengan persoalan bersama. Namun, hal demikian tidak berlaku ketika masa-masa menjelang pemilihan kepala desa seperti yang berlangsung belakangan ini.

6 (enam) tahun yang lalu, ketika aku masih berada di kampung, pendukung salah seorang calon memutus aliran air rumah-rumah warga yang bersikap oposisi atau berbeda keberpihakan politik darinya. Aku tidak tahu, apakah perilaku orang tersebut didukung langsung oleh calon kades yang dipilihnya, meski nyatanya calon andalannya tersebut kalah telak dalam perhitungan suara. Dari malam sebelumnya, warga satu RT (Rukun Tetangga) denganku sudah berjaga-jaga di area masuk lingkungan kami, dengan tujuan menghindari perbuatan-perbuatan seseorang yang tidak diinginkan dan mengganggu kemaslahatan bersama. Namun tak dapat dihindarkan, seseorang tersebut tidak kalah cerdik, dengan memutus aliran air tepat ketika memasuki waktu subuh, orang-orang bersembahyang di rumah atau yang sebelumnya berjaga beberapa dari mereka berjamaah ke langgar.

Sementara aku tidak pernah ingin terlibat dengan semua itu, terlebih lagi bapakku, mungkin aku belajar bersikap demikian pula tak lain oleh teladan darinya.

“Pilihan kita semacam ini, juga merupakan sikap politik.” Ia pernah menuturkan.

Aku sudah tidak heran dengan berbagai macam peristiwa di situsi menjelang pemilihan kades, mulau dari perbuatan licik para pendukungnya hingga hal-hal yang kental akan nuansa magis kian kerapkali terjadi. Semasa masih di kampung pula aku memperoleh serangan fajar, yang tak lain digunakan sebagai istilah suap suara. Aku memperoleh banyak sekali, meski aku tidak benar-benar memilih seorang pun calon, sebab ketika hari pencoblosan datang, aku minggat sekeluarga dari kampung untuk beberapa waktu. Dari salah satu amplop tersebut aku mencium aroma kembang yang sangat menyengat hingga mengganggu sensitivitas indera penciumanku. Bahkan ada di suatu malam, aku bersama bapakku di teras rumah kami, menyaksikan pagelaran cahaya-cahaya terbang di udara. Kala itu aku masih kanak sekali, bapak mengatakan mereka yang beterbangan adalah kunang-kunang, yang baru ku sadari ketika beranjak remaja bahwa dari ingatanku atas apa yang ku saksikan adalah objek bulatan cahaya besar, dan kunang-kunang tak mungkin sebesar itu. Warna mereka dominan merah dan jingga, aku mengetahui jelas apa itu ketika remaja di pesantren, oleh kyai ku yang menjawab setelah sebelumnya sempatku bertanya, bahwa objek bulatan dalam pengalaman penyaksianku tersebut biasa disebut sebagai "pulung". Bapak tak pernah benar-benar menjelaskannya, beberapa kali aku bertanya, jika ia tak menjawab dengan candaan atau masih dikatakannya pula sebagai kunang-kunang. Aku tidak tahu maksud bapakku yang tidak memberitahukan dengan terus terang, barangkali memang menurutnya dalam beberapa hal aku yang harus mencari tahu sendiri.

Berawal dari aku memperoleh kabar singkat dari bapak, selanjutnya kita terus bertukar kabar, aku senantiasa menanyakan situasi teranyar. Singkatnya, waktu sudah berada tepat di hari pencoblosan, biasanya prosedur akan berjalan singkat, sebab memang tidak semua dari masyarakat hendak mencoblos, ada beberapa dari mereka sudah tidak mempercayai mekanisme demokrasi yang diadakan di sana, selain karena hak suara dominan dari masyarakatnya telah terbeli, maka tidak perlu repot mempertimbangkan calon yang akan menjadi.

Surat suara telah terhitung bahkan belum sampai senja hari. Bapak menelfon, ketika aku sedang berada coffee shop yang dimana saban hari aku singgahi di kota rantau ini, kemudian seorang perempuan mendatangiku, dari penampilan dan gelagatnya ia seorang sales rokok. Ditawarilah aku produk tembakau mereka, aku membeli satu bungkus agar lekas ia pergi. Baru aku sadar ponselku berdering, aku mengangkatnya segera, tanpa kalimat basa-basi maupun salam pembuka, bapak melantaskan :

“Le, kepala desa terpilih, ia seorang Fasis!” sekali tegasnya, kemudian disusul nada suara panggilan yang terputus.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bunga Rampas

Komidi Putar

Siran, Sekali Upaya Penghabisan

Sastra dan Korelasinya Terhadap Situasi Sosial